Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun ini telah berusia 20 tahun, bila diandaikan sebagai manusia maka PKB saat ini boleh dikatakan sebagai partai yang masuk dalam kategori partai generasi milenial, Karakter generasi milenial yang creative, confidence, dan connected rasanya juga tercermin kiprah PKB selama ini. PKB menjadi salah satu partai yang digerakkan oleh anak-anak muda dan mampu membuktikan selama 10 tahun terakhir mampu bersaing secara kompetitif dengan partai-partai mapan lainnya.
Partai yang didirikan oleh para kyai dan lahir dari rahim Nahdlatul Ulama ini dalam perjalanannya memang mampu bertahan dari terpaan badai sejarah sekaligus mampu menunjukkan konsistennya dalam menjaga perolehan suara dari pemilu ke pemilu legislatif sejak paska reformasi hingga kini. Meski sempat anjlok di pemilu 2009 karena konflik internal, perolehan suara PKB melonjak drastis di pemilu 2014 dengan perolehan suara 11,3 juta suara atau setara dengan 47 kursi DPR.
Pada pemilu 2019, perolehan suara PKB juga mengalami kenaikan, PKB mendapatkan suara 13,5 juta atau setara dengan 9,69% suara, perolehan kursi PKB di DPR pun mengalami kenaikan menjadi 58 kursi. Kenaikan jumlah suara dan kursi PKB selain didapatkan dari pemilih tradisional NU di Jawa, juga mulai munculnya kenaikan pemilih-pemilih PKB dibeberapa daerah di luar Jawa seperti Sulawesi Selatan dan NTT.
PKB dan juga partai-partai lain dalam 5 tahun mendatang menghadapi 3 tantangan yang tidak mudah dalam kontestasi perpolitikan nasional. Pertama, hadirnya generasi baru pemilih Indonesia, mereka adalah generasi yang lahir diatas tahun 90an, mereka adalah generasi yang sangat “melek“ informasi, percaya diri, dan kecanduuan intenet.
Selain itu PKB mendatang juga harus mampu menarik perhatian generasi baru muslim, mereka adalah anak muda muslim kelas menengah yang tinggal diperkotaan, menurut perhitungan Alvara Research Center jumlah mereka ditahun 2020 mencapai 30,59 juta jiwa. Mereka memiliki semangat keberagamaan yang tinggi, gadget freak, dan punya pendapatan yang cukup tinggi, secara tradisi mereka biasanya diluar spektrum PKB dan NU.
Kedua, Lahirnya kompetensi baru berbasis revolusi industri 4.0. Banyak sekali kompetensi baru saat ini yang tidak kita temui 10 tahun yang lalu. Big data, artificial intelligence, robotika, adalah sedikit contoh kompetensi yang dibutuhkan hari ini dan masa mendatang. Bonus demokrasi akan terjadi pada tahun 2025 – 2030 akan benar-benar dinikmati oleh bangsa Indonesia bila tenaga kerja kita yang masuk usia produktif, tanpa menafikan kompetensi yang lain, dibekali kemampuan kompetensi berbasis digital tersebut. Selain itu munculnya gairah menjadi wirausaha anak-anak muda harus diakomodir dan diberi ruang untuk terus berkembang menjadi industri berskala nasional untuk bersaing dengan pemain-pemain global yang terus merangsek ke industri dalam negeri.
Ketiga, Trend Intoleransi dan Radikalisme. Selesainya Pilpres dan Pileg 2019 tidak lantas membuat trend intoleransi dan radikalisme semakin surut, justru masa lima tahun mendatang adalah ujian yang paling berat, karena dampak Pilpres 2019 dimana isu populisme agama yang paling kuat berpengaruh akan memperkuat segregasi sosial masyarakat kita. Peran PKB bersama Nahdlatul Ulama dalam kondisi ini menjadi sangat penting, bukan hanya untuk meredam trend intoleransi dan radikalisme tapi juga sekaligus menjadi perekat seluruh elemen bangsa tanpa kecuali.
Sebagai partai berbasis pemilih islam terbesar di Indonesia, tentu PKB kedepan harus mampu menawarkan “obat” dan solusi atas berbagai tantangan tersebut. Prasarat utama adalah soliditas partai harus tetap dijaga. Kedua, PKB harus mulai berani memasukkan kader-kader lintas sektor keilmuwan, tidak hanya hanya ilmu agama, PKB juga perlu mendorong kader-kader yang lahir diatas tahun 80an untuk mengisi pos-pos penting kepengurusan partai. Dan yang ketiga, gerak langkah PKB harus didasarkan pada program dan agenda yang membumi dan melayani semua target pemilihnya.
Ditengah tantangan-tantangan tersebut, PKB harus tetap menjaga pemilih tradisionalnya yaitu pemilih yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama. Kenapa demikian? Karena pemilih yang berlatar belakang NU di Indonesia jumlahnya sangat besar, survei yang dilakukan Alvara Research Center sepanjang 2016 – 2019 menunjukkan bahwa pemilih muslim yang terafiliasi dengan NU konsisten dalam rentang 50 – 60%, sementara mereka yang mengaku menjadi anggota NU konsiten dalam rentang 35 – 40%, dengan demikian 1 dari 2 pemilih muslim Indonesia terafiliasi dengan NU.
Karena itu strategi klasik paling tepat yang bisa diterapkan PKB adalah tetap mengamalkan kaidah fikih al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Bila ini strategi ini dijalankan dengan istiqomah maka PKB akan mampu menjadi jangkar politik kebangsaan Indonesia yang maju dan beradab tanpa harus tercerabut dari akar tradisi kehidupan kebangsaan kita, untuk terus merawat ibu pertiwi. Semoga.