Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu, berdasarkan estimasi Badan Pusat Statistik tahun 2020 penduduk Indonesia mencapai 268 juta dan mencapai 305,6 juta pada tahun 2035, persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa menurun dari 57,4% pada tahun 2010 menjadi 54,7% pada tahun 2035. Sebaliknya Persentase penduduk yang tinggal di pulau-pulau lain meningkat, seperti, Pulau Sumatera naik dari 21,3 % menjadi 22,4 %, Kalimantan naik dari 5,8 % menjadi 6,6 % pada periode yang sama.
Berdasarkan proyeksi piramida penduduk Indonesia yang dilakukan BPS tersebut juga menunjukan di tahun 2020 penduduk Indonesia paling banyak akan berada di rentang usia 15 – 39 tahun. Tahun 2020 Penduduk Indonesia yang berusia 15 – 39 tahun sebesar 39.64%
Dalam konteks politik, prediksi yang dilakukan oleh BPS ini menguatkan hipotesa bahwa jumlah pemilih dalam pemilu 2019 akan didominasi oleh generasi milenial. Milenial yang lahir dalam rentang 1981 – 1999 ini akan berusia 20 – 38 tahun dan jumlahnya mencapai sekitar 86 juta jiwa atau dengan kata lain 48% pemilih pada pemilu 2019 adalah generasi milenial, sebuah jumlah pemilih yang sangat menggiurkan.
Secara lebih mikro saya membagi generasi milenial menjadi dua kategori, yaitu Pertama, Generasi Milenial Tua (GMT), mereka yang lahir 1981 – 1990 yang berusia 29 – 38 tahun pada tahun 2019. Kedua, Generasi Milenial Muda (GMM), mereka yang lahir 1991 – 1999 yang berusia 20 – 28 tahun padan tahun 2019. Secara jumlah, GMM sedikit lebih besar dari dari GMT.
Meski sama-sama milenial, GMT dan GMM memiliki perbedaan perilaku dan karakteristik. Karakter dan perilaku GMT masih terpengaruh oleh Gen X, “saudara” tua generasi milenial, sementara GMM sudah terbebas sama sekali dari pengaruh generasi-generasi sebelumnya, GMM inilah milenial sesungguhnya. perbedaan mencolok bisa kita lihat dari perilaku menggunakan internet, konsumsi internet GMM sangat tinggi dibanding dengan GMT.
Karena melihat potensi suara yang begitu besar, beberapa partai dan kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi pemilu sudah mulai dengan serius melirik dan mentarget generasi milenial, dari yang masih malu-malu hingga ada yang sudah terang benderang menyatakan diri sebagai partai milenial.
Salah satu karakter yang menonjol dari generasi milenial adalah mereka tidak memiliki loyalitas yang tinggi terhadap institusi termasuk partai dan mereka tidak mudah tunduk dan patuh terhadap garis instruksi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Pew Research Center tahun 2014 tentang generasi millennial di Amerika Serikat menunjukkan hasil yang mencengangkan. Pandangan politik generasi milenial berbeda secara signifikan secara ras dan etnis. Sekitar setengah dari milenium kulit putih (51%) mengatakan mereka independen secara politik, sisanya terafilisasi Partai Republik (24%) dan Partai Demokrat (19%). Di lain pihak, Generasi Millennial non-kulit putih, sekitar 47% mengatakan mereka independen secara politik, tapi hampir dua kali lipat (37%) mengidentifikasi sebagai terafiliasi dengan Partai Demokrat dan hanya 9% mengidentifikasi terafiliasi dengan Partai Republik.
Mentarget pemilih milenial memang susah gampang, pemilih milenial secara jumlah besar, namun karakternya yang susah ditebak dan cenderung apolitis sehingga membuat mereka susah didekati oleh partai politik/kandidat. Pemetaan elektabilitas partai berdasarkan usia yang dilakukan oleh Alvara Research Center akhir tahun 2016 menunjukkan pemilih milenial yang berusia 17 – 25 tahun belum terikat dengan satu partai manapun, mereka ketika ditanya memilih partai apa? Masih banyak yang belum memutuskan.

Lalu bagaimana mendekati pemilih milenial? Setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan. Pertama, pahami karakter dan perilakunya. Dalam buku Millennial Nusantara ada tiga karakter yang sangat menonjol dari generasi milenial yaitu creative (kreatif), confidence (percaya diri), dan connected (terhubung satu sama lain). Partai atau kandidat harus mampu beradaptasi dengan tiga karakter milenial tadi.
Kedua, Bicara dengan bahasa mereka, Generasi Milenial terutama GMM, agak alergi dengan bahasa dan jargon-jargon politik, partai politik atau kandidat harus menggunakan bahasa lain untuk bisa diterima oleh milenial. Dari Kajian Alvara Research Center ada tiga topik yang sangat menarik dan sering diperbincangkan oleh generasi milenial, yaitu olahraga, music/film, dan teknologi informasi.
Ketiga, Ciptakan hubungan yang “intim”, harus diakui salah satu ciri partai adalah sering kali hanya ramai ketika menjelang pemilu, atau banyak orang sering menyebut partai “pasar malam”. Mendekati milenial tidak bisa dengan cara lama seperti itu, partai atau kandidat harus hadir dan berusaha terus menerus menjadi salah satu faktor dalam kehidupan sehari-hari mereka. Partai/kandidat tidak bisa hanya sekedar on-off, milenial perlu disapa dan diajak bicara, mereka juga tidak suka komunikasi searah, mereka lebih suka komunikasi dua arah, karena itu social media bisa digunakan sebagai platform komunikasi dua arah antara partai/kandidat dengan generasi milenial.
Akhirnya selamat berebut pemilih milenial Indonesia.