Minggu pertama September 2015 saya berkesempatan mewakili Perhimpunan Riset Pemasaran Indonesia (PERPI) untuk menghadiri ASMRS Conference 2015 di Sydney, Australia. Acara tahunan yang diselenggarakan oleh Australia Marketing and Social Research Society (ASMRS) ini berlangsung dua hari dengan dengan mengambil tema The Passion and The Power – Menunjukkan semangat dan kekuatan researcher dalam mempengaruhi publik dan membentuk dunia yang kita tinggali sekarang.
ASMRS Conference 2015 ini juga istimewa karena bersamaan dengan ulang tahun ASMRS yang ke 60 tahun. Sebagaimana disampaikan oleh Conference Chairs, Derek Jones dan Joan Young, ASMRS Conference ini menampilkan berbagai pembicara baik berkecimpung langsung di dunia riset pemasaran (research agency maupun client side) atau juga pembicara yang tidak berkaitan langsung dengan dunia riset pemasaran seperti soal leadership, career, dan business skill.
Di hari pertama, setelah berbagai seremoni pembukaan dilanjutkan dengan plenary session yang mengambil tema Powerful Data. Bisa ditebak tema ini membahas topik yang lagi ramai diperbincangkan di dunia riset yakni terkait big data, tiga pembicara panel, Annie Petit, Chief Research Officer Peanut Labs; Tony Ward, Managing Director SurveyMonkey Australia & NZ, Jason Juma-Ross, Head of Telecommunications, Facebook Australia.
Setelah makan siang, conference dilanjutkan dengan breakout session dimana peserta dibagi menjadi tiga kelas. Kelas 1 membahas The Power of Challenging Norm, kelas ini membahas berbagai pengalaman riset yang memiliki subyek penelitian dengan tingkat sensitifat yang tinggi, misal riset tentang kecanduan alkohol, dan bagaimana riset membantu kampanye mengurangi jumlah perokok. Kelas 2 membahas Passionate about Social Challengges, dikelas ini lebih banyak bicara tentang aplikasi riset dalam memotret gejala-gejala sosial. Kelas 3 membahas The Passion of Research.
Di breakout session ini saya mengikuti kelas The Passion of Research, di kelas ini lebih banyak bicara terkait pernak-pernik manajemen industri riset, sebagai contoh Teri Nolan dari ME Bank dan David McCallum dari Gordon & McCallum berbicara banyak mengenai apa saja yang menjadi key success factor individu-individu yang menjadikan riset pemasaran sebagai pilihan karirnya.
Menurut Teri Nolan, setidaknya ada tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang researcher saat ini, yaitu metodologi, industri, dan teknologi. Teknologi menjadi sangat penting sekarang bagi industri research karena trend riset dunia berbagai riset mengarah kesana, terutama terkait dengan online and mobile survey. Selain itu tuntutan dan tantangan industri yang semakin komplek, pendekatan riset sekarang harus semakin multidisciplinary approach, lebih banyak pendekatan ilmu semakin baik.
Di hari kedua di pagi hari peserta conference disuguhkan presentasi kelas dunia dari Todd Sampson, CEO Leo Burnett yang membawakan materi bertajuk Brain.Power, bagaiamana kekuatan pikiran/otak itu sangat luar biasa. Bahwa dengan memahami kekuatan otaknya, manusia memilki potensi untuk melakukan sesuatu melebihi batas kemampuannya. Mendengar presentasi Todd Sampson saya jadi teringat acara serial favorit saya Brain Games dan The Number Games di National Geographic.
Setelah itu peserta kembali di bagi dalam tiga kelas, kebetulan saya tertarik dengan kelas Passionate about Methodology. Dikelas ini yang menarik perhatian saya adalah materi dari Con Menictas, Senior Statistician Qantas yang bertajuk Can Brand Equity Predict Market Share?. Materi ini menarik karena diskursus tentang pengaruh brand equity terhadap market share sudah menjadi perdebatan dikalangan pemasar dan researcher sejak lama. Berbagai penelitian, buku, dan paper telah diterbitkan namun belum ada konklusi yang menyenangka semua pihak. Sama halnya dengan riset yang dilakukan Con Menictas yang mengambil subyek penelitian kartu kredit di Australia, setelah menggunakan berbagai metode statistik seperti Structural Equation Modelling (SEM), Discrete Choice Model, dll dia menemukan bahwa dengan mengukur faktor-faktor (drivers) yang mempengaruhi brand equity pemasar bisa lebih dekat untuk memprediksi market share. Yang menarik kesimpulan dari Con Menitas adalah bahwa mengukur pengaruh brand equity terhadap market share tidak selalu mudah, mungkin berbeda-beda setiap industri.
Selain tentang bicara tentang trend big data dan metodologi riset terkini, ASMRS Conference 2015 ini menyuguhkan banyak pembicara yang mengetengahkan riset dengan mobile survey sebagai basis pengambilan data dan analisisnya, dan ketika saya berbicara dengan peserta conference banyak juga provider mobile survey atau survey berbasis internet yang ikut andil baik sebagai peserta maupun pameran di lokasi survey. Nampaknya masa depan riset dunia memang bergerak ke arah sana.
Di luar materi yang cukup mengerutkan dahi, ASMRS Conference ini juga diselingi entertainment yang cukup menghibur. Memperingati 60 tahun ASMRS, di hari pertama malam dilakukan gala dinner-mad glam yang berlatar belakang pesta tahun 60an dimana dress code peserta pun menggunakan gaun dan baju era tahun 60an. Dan di akhir conference peserta conference dihibur oleh Judith Lucy, salah satu comedian paling terkenal Australia.
Lalu apa pelajaran apa yang bisa di ambil oleh pegiat riset pemasaran Indonesia? Menurut saya paling tidak ada 3 hal yang bisa kita petik pelajaran dari perhelatan ASMRS Conference 2015 ini bagi Indonesia. Pertama, pegiat riset pemasaran Indonesia harus terus meningkatkan kompetensi riset dalam berbagai bidang terutama terkait metodologi dan teknologi. Kedua, trend riset dunia yang bergerak serba digital mengharuskan setiap pegiat riset pemasaran di Indonesia juga harus mengadopsinya biar tidak tergerus zaman. Ketiga, Pasar Indonesia masih sangat menarik pemain riset global, ini artinya industri riset pemasaran Indonesia akan semakin berkembang dan tentu saja semakin kompetitif.
*Tulisan ini juga bisa dilihat di Majalah Marketing Edisi Oktober 2015
Hasanuddin Ali
Founder and CEO