Co-Creation: Inovasi Bersama Produsen-Konsumen

Proses pengembangan produk baru selalu menarik untuk di kaji. Seperti proses melahirkan seorang bayi, pengembangan produk baru merupakan tahapan proses yang penuh dengan tantangan dan beresiko tinggi. Pertanyaan apakah produk yang di lahirkan akan sukses di terima oleh konsumen atau tidak selalu menghantui setiap perusahaan yang akan mengembangkan produk baru. Karena begitu beresikonya, proses pengembangan baru di perusahaan biasanya melibatkan berbagai lintas divisi atau departemen, tidak hanya hanya divisi pemasaran saja tapi juga sampai bagian keuangan atau bagian operasional lainnya.

Secara umum proses pengembangan produk baru melalui berbagai tahap yang di dalamnya di kontrol secara ketat sampai pada keputusan produk baru tersebut jadi diluncurkan atau tidak. Tahapan-tahapan pengembangan produk baru adalah sebagai berikut:

1. Discovery: Idea Generation and Screening
Pada tahap awal ini biasanya di mulai dari studi pasar terkait dengan trend pasar, identifikasi perilaku konsumen, dan ekspolorasi need and want konsumen. Karena itu di fase ini peran riset pasar sngat menentukan mulai dari focus group discussion sampai dengan ethnographic research. Kemudian ari berbagai ide dasar yang di dapatkan dari tahap idea generation kemudian di saring untuk mendapatkan ide yang relevan dengan produk yang akan di kembangkan.

2. Development: Concept and Product Testing
Pada tahap inilah tim R&D mulai menyusun berbagai alternative konsep produk yang akan luncurkan termasuk fitur dan benefit yang di dapatkan oleh konsumen, dimana alternative konsep tersebut akan di uji kepada konsumen untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap berbagai alternative produk tadi.

3. Commercialization: Product Launch and Evaluation
Setelah perusahaan memutuskan produk yang akan diluncurkan, maka tahap ini adalah tahap yang paling krusial karena di tahap inilah perusahaan akan mulai memperkenalkan dan mengkomunikasikan produk tersebut ke pasar.

Kalau diperhatikan secara lebih mendalam proses pengembangan produk yang ada sekarang, termasuk proses yang tergambarkan di atas terlihat jelas bahwa perusahaan-perusahaan merupakan entitas yang paling sentral, semua proses pengembangan baru di kendalikan oleh perusahaan, sementara konsumen di tempatkan sebagai subyek yang hanya di mintai opini terhadap produk tersebut. Inilah yang kemudian di sebut sebagai Traditional New Product Development (NPD). Traditional NPD berakar dari traditional innovation yang sangat company- centric dan product-centric. Berlawanan dengan traditional innovation, Prahalad dan Ramaswamy (2003) mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan sekarang harus bergerak ke experience innovation yang lebih consumer-centric, dimana perusahaan harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada konsumen untuk ikut terlibat aktif dalam pengembangan produk baru

Gambar 1. Traditional vs Experience Innovation

Pasar yang semakin horisontal karena di dorong perkembangan teknologi informasi terutama internet mengakibatkan proses co-creation  semakin menemukan momentunya karena internet mampu menyediakan platform yang memungkinkan kolaborasi dan interaksi antara perusahaan dan konsumen semakin mudah. Hal ini juga mendorong perilaku konsumen ikut berubah dimana mereka menuntut semakin di libatkan dalam pengembangan produk baru sehingga perusahaan mau tidak mau di “paksa” untuk semakin melibatkan mereka dalam pengembangan produk baru. Experience innovation inilah yang kemudian menjadi dasar co-creation yang didefinisikan sebagai proses kolaborasi yang kuat antara produsen dan konsumen dalam pengembangan produk baru. Prahalad dan Ramaswamy (2003) berpendapat apabila perusahaan sudah menjalankan proses co-creation dengan baik maka value dari produk tersebut akan lebih baik dari produk yang di hasilkan melalui traditional NPD.

Memang yang pertama-pertama menerapkan co-creation adalah produk-produk yang terkait dengan technology based seperti Firefox, Fiat, Boeing, Electrolux, dll. Namun belakangan sektor-sektor industri lain sudah banyak yang menerapkan co-creation, seperti Lego yang menggunakan co-creation untuk menciptakan berbagai macam desain permainan. Starbuck menggunakan mystarbuckidea.com untuk menampung aspirasi konsumen untuk pengembangan produk baru mereka. Unilever menggunakan co-creation untuk pengembangan produk Axe. Nike menggunakan NIKEid.com yang memungkinkan konsumen mendesain sendiri sepatu dan kaos yang mereka inginkan.

Dalam menerapkan co-creation, ada beberapa hal yang harus di penuhi. Pertama, Identifikasi buying behavior konsumen Anda, secara umum buying behavior konsumen ada dua yaitu high involvement dan low involvement. Konsumen dengan proses pembelian produk high involvement adalah konsumen yang ketika membeli produk tersebut harus  memperhatikan dengan teliti setiap fitur yang ada dalam produk tersebut dan biasanya proses pembeliannya membutuhkan waktu yang lama, sementara low involvement adalah produk-produ yang proses pembeliannya relatif singkat dan lebih bersifat “beli putus”.

Produk-produk  yang masuk kategori high involvement antara lain otomotif, electronik, perbankan, dan produk high-tech lainnya, sementara produk-produk yang low involvement biasanya produk-produk yang terkait dengan consumer good. Industri yang consumer buying behaviornya high involvement adalah industri yang relatif lebih mudah menerapkan Co-Creation karena tipikal konsumen di industry ini jauh lebih aktif dari pada industri yang consumer buying behaviornya low involvement.

Kedua,  Pilihlah konsumen anda yang  terbaik yang akan di libatkan dalam co-creation. Ada dua kriteria  untuk menentukan konsumen-konsumen mana saja yang layak menjadi co-creator yaitu pilihlah konsumen-konsumen yang menurut anda paling loyal, dan konsu,em yang kreatif/inovatif.

Matriks di Gambar 2 menunjukkan bagaimana cara menemukan co-creator. Co-Creator adalah konsumen yang memiliki kombinasi kriteria konsumen yang memiliki tingkat loyalitas tinggi yang disebut sebagai promoters dan konsumen memiliki sifat kreatif dan innovatif yang disebut sebagai innovator.

Gambar 2. Matriks untuk Menemukan Co-Creator

Lalu berapa banyak konsumen yang layak di sebut sebagai co-creator? Tidak banyak, sebagai gambaran,sebuah studi yang pernah dilakukan oleh Unilever di Eropa menunjukkan bahwa hanya 1 % persen dari total konsumen yang memiliki kriteria sebagai co-creator. Karena itu tantangan paling penting dari semua tahapan co-creation adalah menentukan siapa saja co-creator yang nantinya akan terus menerus dilibatkan dalam pengembangan produk baru.

Kalau perusahaan dan konsumen sudah bisa berinteraksi dengan langsung, pertanyaannya adalah bagaimana peran riset pasar dalam co-creation?. Dalam traditional NPD, riset pasar yang paling sering di gunakan adalah riset konfensional seperti focus group discussion (FGD) dan survey. FGD biasanya digunakan untuk brainstorming eksplorasi ide-ide baru dan untuk produk test, sementara survey di gunakan untuk mengetahui peluang pasar dan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk baru yang akan diluncurkan.

Dalam co-creation, penggunaan teknik-teknik riset konfensional tidak cukup lagi karena riset konfensional menempatkan konsumen sebagai pihak yang pasif menunggu apa yang akan di tanyakan oleh produsen berlawanan dengan semangat co-creation yang menuntut konsumen yang lebih aktif.  Karena itu seorang peneliti pemasaran harus berubah paradigmanya dari yang semula sebagai “interogator” menjadi seorang “fasilitator” yang lebih banyak mendengar dan memfasilitasi interaksi antara produsen dan konsumen.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s