Anak Muda Bergerak Kemana?

Pemuda selalu menghasilkan sejarah, gerakan pemuda yang heroik selalu menjadi penentu pergolakan sejarah. Momentum sejarah Indonesia selalu di gerakkan oleh anak muda, ingat gerakan Soempah Pemoeda tahun 1928 menjadi tonggak penting gerakan kebangsaan Indonesia di masa kolonial Belanda.

Proklamasi kemerdakaan 17 Agustus 1945 juga tidak mungkin terjadi pada tanggal itu jika saja para pemuda tidak “menculik” Soekarno dan memaksa dia untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Jatuhnya Soekarno tahun 1966 juga andil pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terkenal kemudian dengan Angkatan 66. Jatuhnya Soekarno mengantarkan Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional.

Namun setelah berkuasa 32 tahun, Soeharto jatuh juga karena gerakan mahasiswa tahun 1998 dan berganti ke era reformasi sampai sekarang.

Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini kekuatan pemuda sebagai agen perubahan berada pada titik nadir. Pemuda zaman sekarang adalah pemuda tanpa ideologi, pemuda yang mudah terbawa arus kekinian. Gerakan mahasiswa yang dulu menjadi motor gerakan pemuda sekatang tampak layu, hidup segan mati tak mau.

Perilaku pemuda sekarang jauh lebih mementingkan apa yang mereka bawa dan kenakan sekarang daripada pemikiran dan “otak” mereka. Berbagai perdebatan dan dialektika tidak lagi menarik untuk mereka perbincangkan. Mereka lebih tertarik pada gadget apa yang lagi ngetrend sekarang, grup band mana yang akan manggung bulan ini, lokasi dugem mana yang lagi hip sekarang.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat diskusi dengan beberapa mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi terkemuka di Jakarta, dalam perbincangan itu membuktikan memang demikian. Ketika saya minta mereka menyebutkan nama beberapa partai politik di Indonesia, ternyata mereka butuh waktu beberapa menit berpikir baru kemudian mereka menyebutkan nama-nama partai itu. Padahal nama-nama partai itu setiap hari berkeliaran di berbagai media. Lebih parah lagi ketika di tanya soal tokoh-tokoh partai, mereka harus di kasih petunjuk dulu baru mereka ngeh dengan tokoh-tokoh itu.

Hal ini membuktikan bahwa Pemuda sangat jauh dari ranah politik, bagi mereka politik adalah barang “jijik” yang patut di hindari dan tidak layak di perbincangkan di keseharian mereka. Ketika saya tanya tertarik gak dengan isu-isu kebangsaan dan nasionalisme, mereka jawab ya kadang-kadang kami berbincang soal itu tapi itu bukan yang terpenting bagi kami.

Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan mereka, karena lanskap Indonesia sudah jauh berbeda, kehadiran internet dan sosial media telah mengubah hampir semua konstelasi perilaku masyarakat kita. Persaingan yang semakin ketat menuntut pengusaan materi sekarang menjadi jauh lebih penting dari  sekedar wacana.

Perguruan tinggi sebagai soko guru pendidikan juga orientasinya sudah berubah. Zaman dulu untuk mendapatkan IP 3.0 susah nya setengah mati, sekarang justru mahasiswa yang hanya mendapatkan IP 3.0 itu mungkin mahasiswa paling “bodoh” di kelasnya. Saya sering bergumam sendiri, ini “mahasiswa nya yang tambah pintar atau dosennya yang obral nilai?” wallahua’lam.

Perdebatan malam soal pemikiran-pemikiran ideologi klasik dari pemikiran kiri sampai kanan hampir pasti jarang sekali ditemui di kampus dewasa ini, berganti dengan pelatihan-pelatihan manajemen yang menunjang profesi mereka di kemudian hari.

Meski demikian kita tidak boleh berhenti berharap kepada Pemuda, bagaimanapun di pundak pemuda lah obor perubahan kita gantungkan, boleh jadi sekarang mereka sekarang sedang mencari bentuk dan mencoba “menikmati” kehidupan, momentum penting selalu memanggil mereka untuk kembali bergerak di garda depan perubahan Indonesia. Sejarah telah membuktikan itu. Semoga.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s