Pemasaran Politik: Memasarkan Ide atau Sekedar Populer

ImagePemasaran politik bagi sebagian insan politik di Indonesia adalah hal baru, di picu oleh gelombang reformasi membuat keterbukaan dan keran politik terbuka lebar-lebar. Pemasaran menjadi semakin penting ketika iklim persaingan mulai ada. Seperti kita ketahui zaman orde baru praktis tidak ada persaingan karena semua dikendalikan oleh Soeharto, pemenang pemilu sudah ditentukan jauh sebelum pelaksanaan pemilu.

Di era reformasi ketika semua orang bisa mendirikan partai dan persaingan antar partai semakin terbuka dalam memperebutkan konstituen, Apalagi dengan adanya pemilihan langsung presiden dan pilkada, peran marketing semakin diperlukan oleh partai politik.

Marketing selama ini sudah dikenal luas dan telah dipraktekkan dalam dunia industri. Bagaimana produk dari suatu perusahaan di perkenalkan dan didistribusikan ke konsumen, kemudian sebuah produk dikasih lebel merek lalu di positioningkan agar memiliki citra yang berbeda dengan pesaingnya untuk memenangkan pasar, itu semua dilakukan dengan menggunakan konsep marketing.

Lalu apa beda marketing di dunia industri dan politik? Secara umum hampir sama kecuali dari sisi konteks subyek yang di pasarkan, di industri yang di pasarkan lebih jelas yaitu produk dan jasa, sementara di politik yang di pasarkan adalah soal ide dan gagasan.

Di marketing kita mengenal konsep marketing mix yaitu 4P (product, price, promotion, place), di politik kita bisa terjemahkan konsep 4P tersebut sebagai berikut, Product, produk yang kita jual harus memiliki kualitas yang baik karena itu ide, gagasan, atau kandidat yang kita jual ke konstituen juga harus berkualitas dan otentik

Kedua soal price, dalam konteks pemasaran perusahaan price adalah value yang dibayarkan oleh konsumen di banding manfaat yang diterima dari produk atau jasa yang mereka terima. Di politik price bukanlah monetary value, karena tidak ada cost yang dikeluarkan oleh konstituen ketika memilih partai atau kandidat tertentu. Price disini lebih ke arah emotional value yang di berikan oleh konstituen kepada partai atau kandidat, emotional value ini bisa berarti personal risk ketika seorang menentukan memilih partai tertentu di banding partai yang lain.

Ketiga, promotion, promosi dan komunikasi barangkali sudah banyak di praktekkan didunia politik, ketika mendekati masa pemilu semua partai dan kandidat jor-joran mengkomunikasikan calonnya ke konstituen. Partai atau kandidat yang berkantong tebal lebih banyak menggunakan media tv dan media cetak untuk beriklan. Apakah iklan itu effektif atau tidak dalam menjangkau konstituen itu lain soal.

Keempat, Place. Distribusi adalah kunci penting dalam pemasaran produk, ketersediaan produk di berbagai channel (pasar modern dan tradisional) menjamin konsumen dengan mudah menemukan produk kita. Lalu dalam konteks politik siapa yang disebut sebagai channel itu?, saya berpendapat bahwa seharusnya kantor wilayah, cabang,  anak cabang, dan ranting yang tersebar di berbagai wilayah perkotaan sampai ke pedesaan itulah yang disebut sebagai channel. Sayangnya kantor-kantor partai itu tidak “hidup” sepanjang waktu, tapi hanya ramai ketika menjelang pemilu saja.

Di Indonesia sendiri saya melihat sekarang kebanyakan partai atau kandidat hanya berkutat dengan pencitraan jangkan pendek saja belum sampai menjabarkan secara sistematis penyusunan konsep 4P partai atau kandidat tersebut, semua terjebak pada unsur popularitas dan elektabilitas saja.

Akibatnya partai politik atau kandidat terjebak popularitas sesaat dan miskin gagasan dan ide untuk bangsa dan negara dan pada akhirnya konstituen semakin apatis terhadap politik.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s