Minggu lalu dikantor salah satu pengacara muda di bilangan Kuningan Jakarta, saya kongkow-kongkow dengan beberapa teman aktivis kampus dulu, kami berempat dulu cukup aktif di berbagai diskusi dan tukar menukar ide dan gagasan. Topik diskusi saat itu kami mulai dari yang “kacangan” sampai topik “berat” seperti soal kenegaraan dan ketuhanan. Kami sering bertemu karena dipersatukan oleh satu ikatan primordial yang sama yaitu ikatan ke-NU-an.
Malam itu obrolan kami mengalir deras dengan didampingi kopi dan sebungkus rokok ala Bahtsul Masail NU. Obrolan kami mulai memanas ketika mulai berbincang soal masa depan NU, teman pengacara saya dengan retorika nya yang tajam mempertanyakan masa depan NU di Indonesia, “20 tahun lagi apakah NU masih ada di Indonesia?” tanya nya. Teman saya satu lagi yang kebetulan Generasi Muda NU menyela “Selama NU masih ada, maka Indonesia masih ada”
Saya juga jadi berpikir jangan-jangan NU 20 tahun hanya tinggal jadi catatan buku sejarah saja. Kenapa demikian?, dengan latar belakang riset dan marketing saya menjelaskan kepada teman-teman saya bahwa dalam konteks analisis perilaku, NU adalah sebuah komunitas besar dimana didalam sebuah komunitas itu orang-orang di dalamnya merasa mendapatkan manfaat dari komunitas yang dia ikuti, kalau tidak yang dia akan meninggalkan komunitas itu.
Lihatlah sekarang, banyaknya majelis-majelis habib di kota-kota besar malah justru semakin menjauhkan orang NU dari NU nya sendiri, mereka sudah nyaman mengikuti berbagai acara majelis-majelis itu toh dari praktek ubudiah tidak ada bedanya dengan NU. Yang lebih mengharukan adalah banyaknya keturunan NU yang bergerak di bidang professional yang tidak tersentuh dan perlahan tapi pasti sudah mulai tercerabut ke-NU-annya.
Berbicara tentang komunitas, menurut Susan Fournier, Profesor Marketing dari Boston University, ada tiga jenis kemunitas. Pertama, Pools, komunitas ini disatukan oleh shared valus yang sama, atau bahasa gampangnya komunitas yang memiliki ideologi yang sama, secara demografi dan geografi kemunitas ini agak longgar dan cair. Dalam konteks partai, PDIP adalah salah satu partai dengan tipe ini, karena mereka disatukan oleh ideologi marhaenisme yang di ajakrkan Bung Karno
Kedua, Web, komunitas ini disatukan oleh jejaring yang kuat, hubungan antar komunitas juga terjalin antar anggota ini cukup erat. Partai yang cocok dengan tipe komunitas ini adalah Golkar dan PKS, kedua partai ini secara organisasi dan jejajaring cocok dengan tipe komunitas ini.
Ketiga, Hub, komunitas ini disatukan oleh tokoh idola/panutan, karisma dari sang tokoh membuat orang-orang berbondong ikut dan masuk dalam komunitas ini. Partai Demokrat sangat cocok dengan tipe komunitas ini, SBY adalah sentral segalanya bagi democrat, daya tarik SBY membuat orang-orang berbondong-bondong memilih democrat pada pemili 2009 lalu.
Lalu bagaimana dengan NU bila di kaitkan dengan 3 tipe komunitas ini, dengan melihat kesejarahan NU maka dengan mudah kita bisa menempatkan NU sebelum era Gus Dur adalah NU dengan tipe Pool, saat itu memang faktor ketokohan memang terasa, tapi persaingan dengan Muhammadiah membuat NU sangat kental dengan ideologi Aswaja nya untuk membedakan dirinya dengan Muhammadiah.
Era Gus Dur, adalah NU dengan tipe komunitas Hub, Gus Dur Jaman itu ibarat jimat bagi NU, ketokohan Gus Dur sangat di segani dan mampu mengangkat derajat NU dalam puncak keemasan. Gus Dur mampu menjadi lawan tunggal Soeharto saat itu. Gus Dur juga menjadi magnet bagi orang-orang yang sebelumnya belum mengenal NU untuk ikut dan masuk menjadi bagian NU.
Nah NU pasca Gus Dur semestinya adalah komunitas dengan tipe Web, kenapa demikian? Saya ingat betul bagaimana Pak Hasyim Muazadi sebagai ketua PBNU saat itu mengatakan bahwa dia ingin memperkuat organisasi dan cabang NU. Begitu juga dengan Pak Said Aqil Sirodj, salah satu program utamanya adalah kembali ke pesantren, penguatan pesantren sebagai basis masa dan jejaring ulama terbesar didunia harus lebih utamakan.
(Bersambung…)