Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, dalam pidato di puncak resepsi 1 abad NU berulang kali mengatakan “Selamat Datang di Abad Kedua NU”, semua stakeholder NU disebut satu persatu oleh Ketum PBNU, bahkan kepada alam semesta pun beliau menyampaikan selamat datang di abad kedua NU.
Setelah pidato tersebut terus terang berkecamuk dalam pikiran saya kenapa Gus Yahya memberi penekanan pada kalimat tersebut.
Menurut saya Gus Yahya sedang mengingatkan Nahdliyin bahwa abad kedua NU yang akan kita hadapi sangat berbeda dengan abad pertama, karena itu strategi dan pendekatannya juga harus berbeda
Pertama. Ketum PBNU ingin menekankan bahwa perayaan 1 abad jangan dilihat hanya sekedar peringatan harlah biasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Peringatan 1 abad adalah sebuah pijakan, tonggak sejarah yang harus ditancapkan, sebuah awal yang akan menentukan apakah NU mampu melanjutkan kebesarannya di abad kedua.
Sebagai Ketua Umum PBNU yang ketiban sampur menjadi pemimpin pertama di abad kedua NU, Gus Yahya memiliki beban dan tanggungjawab besar meletakkan dasar-dasar perjuangan yang harus diemban NU di abad keduanya. Sepertinya Gus Yahya secara sadar ingin mengatakan sudah siapkah kalian, wahai warga nahdliyin, dalam memasuki abad kedua?.
Kedua. Ketua Umum PBNU ingin kita semua untuk lebih melihat masa depan dari pada hanya terjebak pada romantisme masa lalu. Sejarah NU di abad pertamanya penuh dengan catatan gemilang, itu patut disyukuri dan dibanggakan, tapi jangan justru menjadi beban sejarah yang akan terus menghantui kita.
Gus Yahya sangat sadar lanskap abad kedua sangat berbeda dengan abad pertama, perlu kerja keras dan strategi baru agar NU mampu berkiprah di abad keduanya. Sepertinya Gus Yahya ingin mengajak warga nahdliyin untuk menuliskan dan mencetak sendiri sejarah baru NU di abad kedua.
Ketiga. Ketum PBNU secara spesifik mengatakan “Alam semesta, selamat datang di abad kedua NU”, O Universe welcome to the second century of Nahdlatul Ulama.
Kita tahu PBNU dibawah Gus Yahya tidak hanya bicara konteks lokal Indonesia, tapi juga berperan aktif dalam pergaulan global. Peradaban yang dimaksud oleh Gus Yahya bukan hanya sekedar peradaban Indonesia, tapi peradaban dunia. NU diabad kedua harus berperan aktif dalam memberikan alternatif solusi bagi mewujudkan dunia yang lebih damai dan beradab.
Peran aktif NU dipercaturan global membutuhkan kesiapan nahdiyin untuk lebih percaya diri dan memiliki wawasan lebih terbuka. Sepertinya Gus Yahya ingin menyampaikan kepada nahdliyin agar jangan kuper, jangan menutup diri, luaskan pergaulan, bekali diri dengan pengetahuan dan kemampuan untuk bergaul dengan masyarakat global.
NU dan Masyarakat Urban
Masa depan indonesia ada di perkotaan. Dari tahun-tahun penduduk yang tinggal diwilayah urban semakin membesar, Bappenas menyebutkan pada tahun 2045 lebih dari 75% masyarakat akan tinggal di wilayah urban.
Karakteristik penduduk urban adalah masyarakat yang cenderung independen, mandiri, dan ketergantungan satu sama lain cenderung lebih rendah dibanding masyarakat rural. Ikatan-ikatan yang tumbuh dimayarakat urban dibangun atas kepentingan dan interest yang sama.
Dalam banyak hal masyarakat urban menggantungkan hidupnya dari dunia jasa dan industri, mereka sangat memperhitungkan segala aktifitasnya berdasar waktu dan materi.
NU sebagai organisasi berbasis rural berupaya keras sedang beradaptasi dengan gejala perubahan masyarakat Indonesia ini, usaha ini banyak dipelopori oleh nahdliyin yang saat ini banyak ditemui diperkotaan karena sudah Nadliyin yang melakukan urbanisasi dari desa ke kota.
Namun adaptasi tidaklah cukup, diperlukan inovasi dan resolusi baru untuk merespon perubahan ini kedepan. Kredo al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yakni ‘Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik’ meski benar namun relavansinya ditengah masyarakat urban menjadi semakin berkurang.
Secara substansi kredo diatas sampai saat ini memang mampu melindungi khasanah tradisi NU. Namun bagi saya kredo diatas memiliki dua kelemahan, yaitu NU lebih pasif dan “nerimo”, dan, kedua, kredo diatas menempatkan nahdliyin sebagai obyek, bukan sebagai produsen ide dan gagasan.
Apalagi kalau kita lihat sebagian besar tradisi dan ritual keagamaan yang dilakukan oleh nahdliyin berbasis pada budaya komunal yang berkembang dimasyarakat agraris dipedesaan. Tradisi ini ini tidak harus dihilangkan tapi diperlukan “ijtihad” baru untuk memodifikasi tradisi dan ritual keagamaan untuk bisa kompatibel dengan perilaku masyarakat urban.
Melayani masyarakat urban jauh lebih sulit dibanding masyarakat rural. Masyarakat urban yang didominasi oleh kelas menengah cenderung memiliki ekspektasi yang tinggi dan lebih “rewel”. Tuntutan ekonomi yang tinggi membuat mereka lebih memilih dan memilah mana aktifitas-aktifitas keagamaan yang lebih mudah dicerna dan gampang dipraktekkan.
Trend semangat belajar agama yang sangat tinggi dikalangan kelas menengah bisa menjadi peluang bagi NU. Lalu materi keagamaan apa yang cocok buat mereka?. Dari survei yang pernah Alvara lakukan mereka membutuhkan ajaran agama yang praktis terutama soal fiqh sehari-hari. Tasawuf juga bisa menjadi pintu masuk, kelas menengah kota juga membutuhkan “pelarian” dari tuntutan dunia yant tinggi, tentu sekali lagi tasawuf dengan kemasan yang cocok dengan karakteristik masyarakat urban.
Saya meyakini NU yang sudah berusia 1 abad ini mampu berkiprah di wilayah urban. Sejarah sudah membuktikan NU adalah organisasi yang bisa beradaptasi disegala perubahan zaman. Kini memasuki iabad keduanya, NU saatnya membuat sejarah peradaban baru di wilayah urban.
NU dan Anak Muda
Jumlah anak muda Indonesia (Gen Z dan Milenial) saat ini berjumlah 53 %, sebuah angka yang sengat besar mereka mendominasi struktur piramida penduduk Indonesia.
Anak muda dan digital seperti sepasang sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan. Konsumsi internet yang sangat tinggi sangat berpengaruh terhadap perilaku anak muda. Derasnya arus informasi yang mereka terima membuat mereka tidak mampu mencerna informasi secara mendalam. Mereka gampang berpindah dari informasi satu ke informasi lain.
Pengaruh digital bagi anak muda juga terlihat dari gaya hidup dan penampilan yang cenderung semakin casual, mereka tidak mau terjebak pada simbol-simbol kemapanan sosial, mereka ogah berjas dan berdasi. Paling gampang, lihat saja kantor-kantor perusahaan digital yang sangat fleksibel dan lebih menonjolkan sisi kreatifitas
Dalam hal sosial agama, anak muda adalah generasi bebas merdeka, mereka tidak mudah terikat dalam satu kelompok tertentu, ini tercermin dari identifikasi afiliasi ormas yang mereka ikuti. Lebih dari 60% dari mereka tidak merasa terafiliasi dengan ormas manapun.
Pemahaman keagamaanpun sebagian besar mereka dapatkan dari media digital, terutama youtube dan sosial media lain yang berbasis visual, maka tidak mengherankan ustadz-ustadz yang sering muncul di media sosial lebih berpeluang menjadi ustadz panutan anak muda.
Survei yang dilakukan oleh Alvara menunjukkan salah satu persepsi yang muncul tentang NU adalah ormas tradisional dan tua. Persepsi ini sudah muncul selama bertahun-tahun. Persepsi tidak sepenuhnya negatif karena memang sebagai organisasi ulama, faktor senioritas memang diperlukan.
Namun melihat postur demografi dan perilaku anak muda, NU memerlukan rejuvenation, peremajaan, untuk tetap menjaga relevansi NU ditengah kehidupan anak muda.
Rejuvenasi ini bisa bersifat substansi dan juga simbol, konten dan kemasannya. Anak-anak muda NU harus didorong untuk lebih sering tampil di publik, mewarnai ruang-ruang wacana dan aktifitas sosial di berbagai sektor.
Untuk mendekat ke anak muda tidak ada pilihan bagi NU untuk hadir lebih intens di media digital. Kyai-kyai muda, Gus-Gus yang memiliki kompetensi agama yang baik harus lebih sering muncul di kanal-kanal media sosial.
Metode dakwah yang diwariskan oleh Walisongo bisa diadaptasi dizaman ini. Dulu Walisongo menggunakan media dakwah musik gamelan dan wayang sebagai media dakwah karena dizaman itu seni itulah yang populer. Maka dizaman ini kenapa tidak dakwah sekarant dilakukan dengan media yang diminati anak muda sekarang, seperti musik, standup comedy, atau seni pertunjukan yang lain.
Tentu bagi anak muda tidak hanya agama saja yang menjadi minat mereka, pendidikan dan kesejahteraan ekonomi juga menjadi kegelisahan mereka. Kehadiran NU untuk membantu setidaknya mengurangi kegelisahan mereka akan sangat dinanti.
NU dan Kelas Menengah
Potensi pertumbuhan kelas menengah di Indonesia masih cukup tinggi. Prediksi yang dilakukan Boston Consulting Group (BCG), menunjukkan ditahun 2020 jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 62,8 persen dari 267 juta jiwa total populasi penduduk Indonesia. Data ini juga menunjukkan proporsi kelas menengah atas (upper middle) sebesar 18,4 persen, kelas menengah (middle) 25,5 persen, dan kelas menengah kebawah (emerging middle) sebesar 18,9 persen.
Kategorisasi kelas menengah ini berdasarkan data pengeluaran keluarga per bulan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Emerging middle, apabila pengeluaran keluarga per bulan sebesar 1,5 – 2 juta. Middle, apabila pengeluaran keluarga per bulan sebesar 2 – 3 juta per bulan. Dan Upper Middle apabila pengeluaran keluarga per bulan sebesar 3 – 5 juta.
Bila kita fokuskan terhadap kelas menengah muslim saja, dengan asumsi penduduk islam Indonesia sebesar 87,7% maka penduduk Islam Indonesia di tahun 2020 akan mencapai 233 juta jiwa dan dengan menggunakan data proporsi kelas menengah dari BCG tersebut diatas sebesar 62,8% maka jumlah penduduk kelas menengah muslim Indonesia di tahun 2020 diprediksikan akan mencapai jumlah 147 juta jiwa.
Prediksi yang lain dilakukan oleh Mckinsey, penduduk Indonesia yang tergolong kelas pendapatan menengah pada tahun 2020 diperkirakan sebanyak 85 juta orang (31 persen penduduk), tahun 2030 sebanyak 145 juta orang (49 persen penduduk), tahun 2040 sebanyak 187 juta orang (60 persen penduduk), dan tahun 2045 sebanyak 223 juta orang (70 persen penduduk), dan akan terus meningkat ditahun-tahun berikutnya. Kelas pendapatan menengah didefinisikan sebagai penduduk dengan pendapatan ≥ USD 3600 per tahun; sedangkan lainnya < USD 3600 per tahun.
Dalam Buku Gen M (2017) yang ditulis oleh Yuswohady, Iryan A, Farid Fatahillah, Hasanuddin Ali, ada empat karakter Generasi Baru Muslim di Indonesia yaitu, Pertama, Universal Goodness, mereka melihat Islam sebagai rahmatan lil alamin yang memberikan kebaikan universal (universal goodness) kepada seluruh umat manusia. Kedua, Modern, mereka berpengetahuan, melek teknologi, dan berwawasan global. Ketiga, High Buying Power, mereka makmur dengan daya beli tinggi, kemampuan berinvestasi luwayan, dan jiwa memberi (zakat dan sedekah) yang cukup tinggi. Keempat, Religious, mereka religius dan taat pada kaidah-kaidah Islam.
Sebagian dari kelas menengah ini kemudian mengidentitaskan dirinya sebagai kelompok hijrah, mereka adalah anak muda perkotaan yang mapan secara ekonomi. Mereka melakukan kajian-kajian keagamaan diperkantoran, mall, bahkan juga di hotel. Mereka juga tidak segan-segan menampilkan simbol dan identitas keislamannya didepan publik. Semangat beragama yang tinggi disatu sisi membuat mereka tampak lebih eksklusif dan menegasikan tradisi keagamaan yang sudah mengakar kuat di masyarakat muslim Indonesia.
Diabad pertama NU, sebagian besar nahdliyin berada pada strata sosial kelas bawah. Namun sekarang memasuki abad kedua kita bisa melihat dan merasakan tanda-tanda terjadinya, meminjam istilahnya Prof M. Nuh, mobilitas vertikal di kalangan nahdliyin, baik dari sisi pendidikan maupun ekonomi. Nahdliyin tidak bisa lagi diidentikkan dengan strata kelas bawah. Secara strata sosial ekonomi nahdliyin sudah sangat beragam dan banyak juga yang masuk dalam kategori kelas menengah.
Banyak peluang yang bisa dilakukan oleh NU terhadap masyarakat kelas menengah ini. Sebagai contoh dari sisi ekonomi, dengan jumlah populasi yang sangat besar banyak pebisnis yang menjadikan nahdliyin sebagai potensi pasar yang menggiurkan. Perjalanan umroh, produk halal, fashion, keuangan syariah, ziswaf, media adalah produk-produk yang sedang ngetrend dikalangan masyarakat kelas menengah. NU harus mampu menjadi tuan rumah dari sisi ekonomi bukan menjadi obyek dari orang lain. BUMNU saya kira bisa menjadi pintu masuk yang sangat strategis dalam pengembangan kemandirian ekonomi NU.
Semangat belajar agama yang tinggi kelas menengah adalah tantangan sekaligus peluang bagi NU untuk meningkatkan kehadiran dakwah dikalangan mereka, pengembangan konten keagaaman yang ramah kelas menengah, penetrasi ustadz dan kyai ke komunitas-komunitas perkantoran baik BUMN maupun swasta menjadi sangat penting. Hal yang sama bisa dilakukan oleh LazisNU.
Mobilitas vertikal yang dialami oleh sebagian besar warga nahdliyin akan terus terjadi dimasa-masa mendatang dan kita tidak kuasa untuk menolaknya. Sekali lagi adaptasi adalah kuncinya.
Autokritik yg sangat menrik. Kita satu frekuensi, hanya saja anda lbh cerdas dlm menyampaikannya, saya tidak.