Islam Nusantara saat ini sedang ramai diperbincangkan oleh kalangan muslim Indonesia, ada yang mendukung, juga ada yang menentang. Ada sebagian pandangan yang mengatakan bahwa islam itu satu, tidak ada islam ini, islam blablabla, padahal mungkin saja mereka yang kontra itu justru tidak mengerti akan makna dari Islam Nusantara itu sendiri, sehingga muncul banyak prasangka timbul jauh dari esensi Islam Nusantara.
Nusantara adalah tanah tempat kita berpijak saat ini, Nusantara adalah tempat nenek moyang dan leluhur kita menyemai dan membesarkan bangsa yang sekarang kita sebut Indonesia. Islam adalah agama yang memiliki nilai universal yang diturunkan untuk semua umat manusia. Betul bahwa Islam diturunkan di tanah arab dengan menggunakan bahasa dan budaya arab, tapi pesan Islam jauh lebih luas melampaui ke-arab-an itu sendiri.
Islam Nusantara adalah bukanlah sebuah istilah teologis, tapi lebih pada aspek sosiologis, ketika sebuah bentuk nilai-nilai ajaran yang universal Islam bertemu dan berdialog dengan unsur lokalitas Nusantara selama bertahun-tahun yang menghasilkan ciri khas ke-Islam-an yang unik dibanding tradisi Islam di tempat lain.
Menolak Islam Nusantara berarti menolak kenyataan sejarah bawah Islam yang kita yakini ini hidup dalam konteks ruang dan waktu yang begitu dinamis. Ada nilai-nilai dan ajaran yang qoth’I, tapi ada juga juga ada ajaran yang bisa menyatu dan berkelindan dengan tradisi dan adat setempat, bukankah dalam usl fiqh juga ada kaidah “al ‘adatu muhakkamah”, bahwa adat juga bisa menjadi salah satu sumber hukum.
Dalam dunia yang berbeda yakni di dunia bisnis dan pemasaran kita mengenal terminologi Glocalization, apa itu glocalization? glocalization adalah singkatan dari dua kata: globalization dan localization. Definisi Glocalization yang lebih formal adalah strategi brand atau perusahaan global harus memperhatikan unsur lokalitas negara/wilayah pemasarannya.
Perusahaan global ketika berkespansi ke suatu negara pasti akan melakukan penyesuaian terhadap konteks negara tersebut, dan disetiap negara memiliki strategi pemasaran yang berbeda-beda untuk memikat konsumen di negara tersebut.
Kembali ke soal Islam Nusantara, Islam Nusantara adalah salah satu bentuk contoh dari glocalization, Islam yang universal mewakili globalization, sementara Nusantara mewakili localization. Para ulama zaman dahulu terutama Walisongo secara cerdas dan kreatif membawa dan menyampaikan ajaran Islam yang universal itu dan kemudian menyandingkan dan meleburkannya dengan tradisi Nusantara yang pada akhirnya membentuk identitas yang khas.
Tradisi tahlilan, maulid, ziarah kubur adalah salah satu ciri tradisi Islam nusantara, survey yang dilakukan Alvara Research Center bulan April 2015 di 9 kota besar Indonesia menyebutkan mayoritas Umat Islam Indonesia menjalankan tradisi itu. 87,5 % muslim kota di Indonesia menjalankan Tahlilan, 87,5% melaksanakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, 73,2 % melakukan qunut subuh, dan 67,2% melakukan ziarah ke makam ulama. Muslim kota saja banyak melakukan tradisi tersebut, apalagi kalau muslim yang tinggal di pedesaan akan jauh lebih banyak yang menjalankan ritual Islam Nusantara.
Akhirnya Islam Nusantara juga pada dasarnya adalah islam, bukan agama baru atau sempalan baru sebagaimana dituduhkan muslim puritan. Islam Nusantaran bukanlah penyimpangan dari islam, tapi merupakan varian islam, sebagaimana juga kita temukan ada Islam Arab, Islam Mesir, Islam India, Islam Syria, Islam Maroko, dan lain-lain