Beyond Top-of-Mind

*ArtikelLawas

Banyak klien yang bertanya kepada saya, walaupun hasil riset menyatakan bahwa produknya paling dikenal oleh konsumen, namun mengapa pada kenyataannya tingkat penjualannya masih rendah? Mengapa ada semacam keterputusan antara top-of-mind dengan keputusan pembelian (purchase decision)?

Bagi saya jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Sebenarnya tidak ada kaitan langsung antara top-of-mind dan keputusan pembelian. Top-of-mind hanya menunjukkan seberapa kenal responden terhadap produk tersebut. Masalah apakah ia akan secara riil membelinya atau tidak merupakan masalah lain.

Hal seperti ini bisa terjadi karena pengukuran top-of-mind dilakukan melalui riset kuantitatif, sedangkan alasan-alasan yang mendasari pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen hanya bisa dianalisis melalui riset kualitatif. Jadi, riset kuantitatif sebenarnya hanya mendapatkan hasil di permukaan saja, yang tidak benar-benar bisa menggali insight dari responden atau konsumen.

Karena itulah, seperti juga saya jelaskan pada tulisan saya terdahulu di rubrik ini, sejak beberapa tahun lalu kami mulai mengkonsentrasikan diri pada riset kualitatif. Kami menilai, hasil dari riset kualitatif ini akan lebih berguna bagi perusahaan dan bisa menjadi dasar bagi penentuan keunggulan daya saing.

Kali ini saya akan elaborasi kembali tentang riset kualitatif ini. Dalam riset kualitatif, ada semacam premis, “what counts is what cannot be counted”, apa yang penting sebenarnya adalah apa yang tidak dapat diukur atau dihitung. Jadi, dalam riset kualitatif ini yang penting bukanlah sekadar angka prosentase top-of-mind misalnya. Namun, harus bisa didapatkan hal-hal apa yang membuat responden mengambil keputusan, terutama dalam perilaku bawah sadar mereka. Hasil ini akan membantu perusahaan lebih memahami konsumen sehingga mereka dapat menciptakan produk yang lebih baik, servis yang lebih baik, dan juga iklan yang efektif.

Harus diingat, responden tidak terbiasa berpikir secara mendalam tentang alasan mereka membeli/tidak membeli atau menyukai/tidak menyukai produk, servis atau iklan tertentu. Responden mungkin akan dengan cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan langsung (direct questions) seperti “Seberapa sering Anda berbelanja susu untuk bayi Anda?”. Namun, mereka cenderung diam atau sulit menjawab secara jelas ketika pertanyaannya lebih abstrak seperti, “Apakah yang Anda harapkan dari bayi Anda ketika ia besar nanti dengan meminum susu bayi tersebut?”

Untuk menggali hal-hal seperti ini, diperlukan sejumlah tools dan teknik untuk membantu responden mengakses apa yang ada di bawah alasan rasional mereka tentang sebuah isu atau topik. Selain melalui Ethnografi seperti yang sudah saya jelaskan dulu, hal ini sebenarnya juga bisa dilakukan melalui sebuah focus group discussion (FGD). Yang penting, responden harus dibiarkan bicara lepas tentang pikiran terdalam mereka tanpa mereka merasa sedang ditanyai atau diwawancara layaknya seorang tersangka kriminal dalam kantor kepolisian.

Teknik paling umum adalah yang disebut “proyeksi”. Secara singkat, ini berarti membiarkan responden berbicara tentang sesuatu yang sifatnya internal namun layaknya hal itu berada di luar mereka. Responden seolah-olah bicara sesuatu yang sifatnya berada di luar diri mereka namun sebenarnya merupakan cerminan dari pemikiran internal atau terdalam mereka. Hal ini akan membuat responden lebih merasa bebas karena tidak perlu merasa malu, takut atau bertanggung-jawab atas pendapatnya.

Misalnya saja dilakukan FGD dengan klien sebuah perusahaan mobil. Moderator FGD bisa menyusun sebuah skenario untuk membuat responden bisa bicara secara bebas di tengah-tengah orang asing yang baru dikenalnya, yaitu responden lainnya dalam ruangan FGD tersebut.

Skenario ini misalnya dengan membuat sebuah cerita fiksi tentang sebuah keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, seorang anak laki-laki, dua orang anak perempuan, dan seorang kakek. Si anak laki-laki bulan depan akan lulus sarjana. Kedua orang tua sudah sepakat bahwa mereka akan menghadiahi anaknya ini sebuah mobil. Namun, mobil seperti apakah yang akan diberikan belum ada kata sepakat.

Nah, masing-masing responden dalam FGD ini kemudian diminta berperan untuk menjadi salah satu karakter tadi. Mereka bisa berpendapat sebebas-bebasnya untuk menentukan jenis dan merek mobil apa yang harus diberikan kepada anak laki-laki tadi. Dalam memberikan pendapat ini, responden harus diingatkan bahwa pendapat yang diberikan bukanlah pendapat mereka pribadi, namun pendapat karakter yang mereka perankan.

Saya yakin, diskusi yang hidup akan terjadi. Walaupun tiap responden mungkin berupaya meyakinkan bahwa pendapat yang diberikan bukanlah pendapat pribadi, namun tentu mereka mengeluarkan pendapat tersebut berdasarkan pengalaman mereka. Dari sini bisa muncul jawaban-jawaban yang lebih jujur dan insight yang lebih dalam daripada sekadar menanyakan apakah jenis mobil tertentu mereka sukai atau tidak. Hasil riset kualitatif seperti ini tentu akan lebih bermanfaat daripada sekadar angka top-of-mind yang sebenarnya hanya memberikan kebanggaan semu.

2 thoughts on “Beyond Top-of-Mind

  1. Kalau istilahnya TNS, Power in The Mind tidak selalu berarti Power in The Market. Karena itu keduanya perlu dicek. Awareness hanya menggambarkan Power in The Mind, tapi bukan Power in The Market karena kenyataannya ketika kita menghadap rak di supermarket (misalnya), ada banyak sekali merek. Bisa jadi merek yg ada di pikiran mereka malah nggak ada di rak. Ada faktor accessibility, affordability ketika bicara gap antara keduanya.

    Mari dengarkan pakarnya bicara..
    http://www.tnsglobal.com/news-center/video/power-mind-power-market

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s