Millennial: Generasi Baru Pemilih Indonesia

Hari-hari ini jagad sosial media kita disibukkan oleh hiruk pikuk Pilkada DKI Jakarta meski Pilkada DKI Jakarta masih satu tahun kedepan. Kebisingan Pilkada DKI dipicu oleh dua pihak yang saling berhadapan dan memiliki pendukung yang sama-sama fanatik, pro Ahok disatu sisi dan kontra Ahok disisi yang lain.

Gubernur Petahana Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal Ahok menjadi pusat segala keriuhan, diperdebatkan, disanjung, dan dicerca, oleh yang pro dan kontra di media online, baik social media maupun situs berita online. Keriuhan ini sebenarnya hampir sama dengan  saat Pilpres 2014 lalu, saat Joko Widodo dan Prabowo Subianto bertarung menjadi orang nomer satu di Indonesia. Yang membedakan saat ini di Jakarta adalah munculnya generasi baru yang ikut memeriahkan proses politiknya, generasi baru itu adalah Generasi Y atau juga disebut Generasi Millennial.

Generasi millennial adalah generasi yang lahir tahun 1981-2000, jadi mereka saat ini adalah pemilih-pemilih yang berusia 16 – 35 tahun. Berbeda dengan generasi sebelumnya, Generasi X, mereka adalah generasi yang sangat melek dengan teknologi terutama dengan internet. Dalam konteks Indonesia generasi ini juga generasi yang belum terlalu merasakan era orde baru, karena saat Presiden Sohearto berkuasa, mereka masih belum menginjak dewasa, atau bahkan mereka baru lahir ketika era reformasi baru muncul di Indonesia.

Secara jumlah, generasi millennial di Jakarta memang cukup besar, menurut data BPS kurang lebih 38,12% penduduk Jakarta adalah generasi millennial (usia 15 – 34 tahun), inilah yang membuat daya tarik generasi ini dimata kandidat yang bertarung di Pilkada DKI Jakarta. Namun merebut hati generasi millennial ini tidaklah mudah. Temuan riset yang dilakukan oleh Alvara Research Center tahun 2014 tentang Tipologi Pemilih Kelas Menengah Indonesia, https://hasanuddinali.com/2014/02/12/tipologi-pemilih-kelas-menengah-indonesia/, menunjukkan pemilih yang masuk segmen “Apathetic Voters” didominasi oleh pemilih mula dan muda. Apathetic Voters atau “Pemilih Cuek” adalah pemilih yang cenderung apatis terhadap berbagai proses politik, mereka pemilih yang cuek dan tidak peduli  dengan partai/kandidat yang akan mereka coblos di pemilu.

Dalam white paper yang diterbitkan oleh Alvara Research Center, Indonesia 2020: The Urban Middle-Class Millennials” ada tiga karakter generasi millennial yaitu Creative, Confidence, dan Connected yang disingkat menjadi 3C. Creative, mereka adalah orang yang biasa berpikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan dan mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan itu dengan cemerlang. Confidence, mereka ini orang yang sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat dan tidak sungkan-sungkan berdebat di depan publik. Connected, mereka adalah pribadi-pribadi yang pandai bersosialisasi terutama dalam komunitas yang mereka ikuti, mereka juga aktif berselancar di sosial media dan internet.

Dalam konteks Pilkada Jakarta, tiga sifat generasi millennial inilah yang mewarnai setiap wacana terkait keramaian di seputar Pilkada Jakarta. Mereka dengan rasa percaya diri yang tinggi ikut terlibat mengkampanyekan dan mempromosikan setiap kandidat yang didukungnya dengan cara-cara yang kreatif melalui jalur social media.

Namun demikian generasi millennial bukan tidak punya kelemahan. Sikap yang gampang ikut arus menyebabkan sebagian besar gerakan politik yang dibangun oleh generasi millennial tidak didukung oleh basis ideologi yang kuat. Kebanyakan dari mereka bukan berangkat dari sistem pengkaderan yang kokoh, sehingga ketika mereka memberikan sokongan kepada satu kandidat atau partai bukan karena alasan kesamaan ideologi tapi lebih karena kesamaan aspirasi. Mereka boleh jadi sangat berisik tapi miskin substansi.

Karena itu tantangan partai atau kandidat kedepan dalam memperebutkan suara pemilih akan semakin berat. Kita ketahui partai-partai itu saat ini dipenuhi oleh mereka-mereka yang masuk kategori generasi baby boomers (lahir 1946 – 1964), beberapa partai memang sudah banyak juga yang di isi oleh Generasi X (lahir 1965 – 1980), yang secara pola pikir sangat bertolak belakang dengan Generasi Millennial.

Salah satu karakter yang menonjol dari generasi millennial adalah mereka tidak memiliki loyalitas yang tinggi terhadap institusi termasuk partai dan mereka tidak mudah tunduk dan patuh terhadap garis instruksi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Pew Research Center tahun 2014 tentang generasi millennial di Amerika Serikat menunjukkan hasil yang mencengangkan. Pandangan politik generasi millennnial berbeda secara signifikan secara ras dan etnis. Sekitar setengah dari milenium kulit putih (51%) mengatakan mereka independen secara politik, sisanya  terafilisasi Partai Republik (24%) dan Partai Demokrat (19%). Di lain pihak, Generasi Millennial non-kulit putih, sekitar 47% mengatakan mereka independen secara politik, tapi hampir dua kali lipat (37%) mengidentifikasi sebagai terafiliasi dengan Partai Demokrat dan hanya 9% mengidentifikasi terafiliasi dengan Partai Republik.

Suka tidak suka inilah generasi yang akan dihadapi oleh setiap elemen yang bergerak di kepartaian dan politik secara umum, partai harus punya cara baru untuk merangkul dan mendekati mereka. Cara mendekati mereka tentu saja juga dengan cara yang kreatif, dengan bahasa yang mereka gunakan, dan  melalui jalur komunikasi yang biasa mereka pakai.

Dengan adanya pemilih millennial, kontestasi menuju Pilkada Jakarta saja sudah bisa membuat jagad social media begitu hiruk-pikuk, apalagi nanti saat pemilu legislatif dan presiden tahun 2019 ketika generasi millennial sedang di puncak-puncaknya, social media kita akan terasa sangat bising sekali.

Oleh:
Hasanuddin Ali
CEO and Founder
Alvara Research Center

Leave a comment