Kenapa Banyak Orang Kini Mengaku NU?. Ini Penyebabnya

Selama hampir satu abad keberadaannya, Nahdlatul Ulama (NU) telah menjadi salah satu kekuatan sosial-keagamaan terbesar di Indonesia. Namun dalam satu dekade terakhir, NU tidak hanya menjadi organisasi, tetapi juga menjadi identitas kultural mayoritas yang melekat pada diri lebih dari separuh Muslim Indonesia. Fenomena ini tampak jelas dari survei nasional yang dilakukan selama sembilan tahun terakhir. Data yang dirilis Alvara Research Center menunjukkan bahwa pada tahun 2016, sekitar 50,3 persen masyarakat Muslim Indonesia mengidentifikasi dirinya sebagai warga NU. Angka ini melonjak menjadi 59 persen pada tahun 2019, kemudian stabil pada kisaran 56–57 persen sepanjang 2023 hingga 2025. Stabilitas angka yang tinggi ini menunjukkan bukan saja bahwa NU tetap eksis, tetapi juga bahwa NU semakin diterima sebagai payung identitas keislaman di Indonesia.

Gambar 1. Afiliasi Muslim Indonesia Terhadap NU

Namun, makna dari data ini jauh lebih dalam dibanding sekadar peningkatan angka statistik. Afiliasi keagamaan adalah bentuk kesadaran identitas, dan kesadaran identitas adalah cermin dari dinamika sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. Karena itu, ketika afiliasi NU meningkat dan stabil pada level tinggi, sesungguhnya kita sedang menyaksikan proses transformasi sosial besar yang sedang berlangsung dalam masyarakat Muslim Indonesia.

Peningkatan afiliasi NU dari 50 persen menjadi 56–59 persen bukanlah perubahan kecil. Dalam studi identitas keagamaan, kenaikan sebesar 6–9 persen dalam rentang kurang dari satu dekade adalah perubahan struktural yang signifikan. Namun fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Ia adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan setidaknya empat dinamika besar, yaitu kebangkitan kesadaran identitas, ekspansi ekosistem pendidikan, ketegangan politik identitas, dan transformasi demografi pesantren dan santri urban.

Gambar 2. Faktor-Faktor Tumbuhnya Jumlah Warga NU

Pertama, kita melihat apa yang dapat disebut sebagai identity awakening atau kebangkitan kesadaran identitas. Masyarakat Indonesia sebenarnya telah lama hidup dalam praktik keagamaan yang secara substantif sangat dekat dengan tradisi NU: tahlilan, yasinan, maulid nabi, ziarah kubur, manaqiban, qunut subuh, selametan, barzanji, dan tradisi-tradisi lain yang menjadi bagian dari kehidupan keagamaan sehari-hari. Survei Alvara Research Center menemukan warga muslim Indonesia yang melaksanakan tradisi-tradisi tersebut dikisaran 80 – 90 persen. Praktik-praktik ini telah menjadi bagian dari budaya Islam Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, tidak semua pelakunya menyadari atau mengidentifikasi diri sebagai “warga NU”. Banyak yang menjalani tradisi itu tanpa merasa perlu menempelkan identitas tertentu.

Kondisi ini berubah dalam beberapa tahun terakhir. Ketika diskursus nasional tentang Islam moderat, Islam Nusantara, toleransi, radikalisme, dan polarisasi berkembang sangat cepat di era digital, masyarakat mulai memikirkan kembali identitas keagamaannya. Di tengah tarik-menarik narasi keagamaan, antara gerakan konservatif, modernis, skripturalis, hingga kelompok transnasional, NU hadir sebagai pilihan identitas yang paling dekat dengan praktik dan nilai-nilai mayoritas Muslim Indonesia. Orang mulai menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini, yang mereka warisi dari orang tua dan kakek nenek mereka, ternyata adalah tradisi NU. Identitas yang dulu laten menjadi aktual. Yang dulu implisit menjadi eksplisit.

Kedua, ekspansi ekosistem pendidikan NU, khususnya pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi, telah memainkan peran besar dalam mengukuhkan identitas tersebut. Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan pesantren sangat pesat. Data Kementerian Agama menunjukkan bahwa jumlah pesantren terus meningkat, baik dari sisi jumlah lembaga maupun jumlah santri. Banyak pesantren NU membuka program modern, mengembangkan kurikulum terintegrasi, memperluas jaringan alumni, dan berkolaborasi dengan dunia usaha dan pemerintah daerah. Pesantren telah menjadi poros penting dalam perubahan sosial masyarakat Indonesia.

Ketiga, dinamika politik identitas selama periode 2016–2024 telah menguatkan posisi NU sebagai jangkar moderasi di tengah badai polarisasi. Peristiwa-peristiwa politik besar di Indonesia, seperti Pilgub DKI Jakarta 2017, aksi-aksi besar yang dipenuhi sentimen keagamaan, serta Pilpres 2019 dan 2024, telah membuka ruang bagi NU untuk tampil sebagai representasi Islam yang damai, teduh, dan mengedepankan akal sehat. Tokoh-tokoh NU sering tampil di media untuk memberikan pandangan moderat yang meredam ketegangan sosial. Dalam suasana panas seperti ini, masyarakat melihat NU sebagai rumah identitas yang aman dan stabil. Ketika radikalisme tumbuh, NU tampil sebagai antibodi sosial. Ketika identitas agama dipolitisasi, NU tampil sebagai penyeimbang.

Keempat, migrasi santri dari desa ke kota menghasilkan gelombang baru yang sangat penting, munculnya NU Urban. Santri lulusan pesantren yang melanjutkan pendidikan tinggi di kota-kota besar atau bekerja di sektor-sektor modern membawa identitas NU ke ruang profesional, ruang akademik, ruang digital, dan ruang publik urban. Mereka menampilkan wajah NU yang baru yakni kritis, rasional, profesional, dan modern. Ini sangat menarik bagi kelas menengah Muslim urban yang menginginkan Islam yang kompatibel dengan modernitas. Identitas NU tidak lagi diasosiasikan hanya dengan desa atau pesantren, tetapi juga dengan kota, profesionalisme, dan kelas menengah berpendidikan.

Kombinasi dari semua faktor tersebut membuat identitas NU tidak hanya tumbuh, tetapi mengakar lebih dalam. Ketika identitas semakin kuat, ia tidak hanya menjadi identitas keagamaan, tetapi juga identitas kultural dan bahkan identitas sosial-politik. Dengan jumlah warga sedemikian besar, posisi NU menjadi semakin strategis, ruang penghikmatan menjadi semakin terbuka luas, namun disisi lain tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dan harapan warga NU juga semakin besar.

Leave a comment

Selamat datang bagi yang suka dengan data dan analisis seputar dunia pemasaran, sosial politik, dan digital

Let’s connect