Anak Muda, NU, dan Masa Depan yang Harus Dijemput


Bonus demografi yang sedang kita nikmati bukanlah hadiah abadi. Tahun 2035, struktur penduduk Indonesia akan mulai bergeser. Usia produktif akan menurun, dan bila kita tidak bersiap sejak sekarang, masa keemasan ini bisa lewat begitu saja. Bagi saya, melihat bagaimana generasi muda menempatkan diri di tengah perubahan zaman adalah tantangan yang tidak bisa dianggap enteng. Kita tidak sedang berbicara tentang statistik penduduk semata, tetapi tentang manusia-manusia muda yang menentukan arah bangsa—dengan cara berpikir, berperasaan, dan berekspresi yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya.


Dalam beberapa tahun terakhir, saya dan tim di Alvara Research Center mencoba menyelami lebih dalam lanskap psikografis anak muda Indonesia. Kami ingin melihat mereka bukan hanya sebagai angka atau kelompok usia, tapi sebagai manusia dengan karakter, nilai, dan cara pandang yang beragam. Lewat riset nasional akhir 2024, kami menemukan tiga tipologi utama anak muda Indonesia: Si Paling Eksis, Si Digital Banget, dan Si Santuy Abis.

Si Paling Eksis adalah mereka yang aktif, vokal, dan percaya diri. Mereka nyaman tampil, piawai berbicara, dan senang membangun jejaring sosial. Mereka tak ragu menjadi influencer, aktivis, atau pemimpin komunitas. Lalu ada Si Digital Banget, generasi yang tumbuh bersama internet dan perangkat pintar. Dunia mereka melintasi ruang dan waktu—belajar, bekerja, dan berjejaring semua dilakukan dalam ekosistem digital. Mereka tidak hanya cepat dan efisien, tapi juga kritis dan adaptif. Dan terakhir, Si Santuy Abis —sebuah tipologi terbesar secara proporsi—adalah mereka yang memilih keseimbangan, kedamaian, dan kehidupan yang stabil. Mereka bukan tidak peduli, mereka hanya tidak ingin hidup dalam tekanan. Mereka menyukai ruang yang menenangkan dan komunikasi yang penuh empati.

Saya melihat tiga tipologi ini sebagai pintu masuk untuk mendesain ulang pendekatan NU terhadap generasi muda. Tantangan kita hari ini bukanlah kekurangan nilai, melainkan keterbatasan cara menyampaikan. Tradisi Aswaja—yang menjunjung toleransi, keseimbangan, dan kearifan lokal sangat kontekstual untuk menjawab keresahan generasi sekarang. Tapi bila disampaikan dengan pendekatan yang terlalu formal, terlalu satu arah, atau terlalu struktural, maka semua nilai luhur itu akan lewat begitu saja.

Untuk itu, strategi komunikasi dan kaderisasi NU ke depan harus bersifat khas dan diferensiatif. Kita perlu merumuskan pendekatan yang sesuai dengan karakter masing-masing segmen. Untuk Si Paling Eksis, misalnya, NU harus menyediakan ruang ekspresi dan tampil. Mereka cocok dilibatkan dalam kampanye publik NU, atau memoderatori forum-forum digital NU. Mereka dapat menjadi wajah segar dakwah yang tidak kaku, karena memang mereka punya daya sosial yang tinggi. Tugas NU adalah memberi panggung, memberi mentoring, dan memberi makna.

Sementara itu, untuk Si Digital Banget, kita perlu membuka laboratorium gagasan. Ini adalah segmen yang suka tantangan dan logika. Mereka bisa didorong untuk membangun aplikasi dakwah, platform edukasi berbasis pesantren, atau start-up sosial berbasis nilai-nilai NU. Ini juga segmen yang akan sangat cocok berada dalam ekosistem NU Future Leaders, atau inkubator digital NU. Kita tidak hanya mencetak penceramah, tapi juga teknolog dakwah.

Lalu bagaimana dengan Si Santuy? Justru merekalah yang paling membutuhkan pendekatan empatik dan penuh welas asih. Mereka tidak cocok disuruh tampil apalagi bersaing. Mereka butuh ditemani. Kita perlu menghadirkan ruang-ruang healing spiritual, konten ringan penuh makna, dan komunikasi yang menenangkan. Saya membayangkan podcast “Ngaji Santuy”, video dakwah pendek dengan gaya humor pesantren, atau ruang konseling yang mempertemukan santri dan psikolog. Bukan hanya agar mereka merasa dekat, tapi juga agar mereka tidak merasa sendiri dalam kegalauan hidup yang makin kompleks.

Semua pendekatan ini tentu tidak bisa berdiri sendiri. NU perlu membangun struktur yang mendukungnya: tim kreatif yang melek tren, manajemen dakwah yang agile, hingga platform digital yang terintegrasi. Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah keberanian untuk berubah. Berani merangkul pendekatan baru tanpa kehilangan esensi nilai lama. NU bisa tetap menjadi penjaga tradisi, sambil merangkul inovasi.

Anak muda hari ini tidak sedang menjauh dari agama. Mereka hanya sedang menyeleksi narasi mana yang masuk akal dan relevan bagi hidup mereka. Kalau NU hadir dengan wajah yang hangat, inklusif, dan terbuka, saya yakin anak muda akan datang sendiri. Mereka tidak butuh disuruh. Mereka hanya perlu merasa dimiliki.

NU harus menjadi rumah tempat anak muda bisa bertumbuh, bukan hanya tempat mereka belajar patuh. Harus ruang untuk bertanya, dan ruang untuk mencoba. Kita tidak sedang bersaing dengan siapa pun, kita hanya sedang menyiapkan rumah terbaik agar anak-anak bangsa tidak merasa asing di negeri sendiri—dan tidak merasa asing di tubuh NU sendiri.

Saya percaya, kalau NU bisa menjawab tantangan zaman dengan ketulusan dan keterbukaan, maka masa depan bukan sesuatu yang menakutkan. Ia adalah medan dakwah yang segar. Ia adalah jendela baru yang terbuka. Dan di jendela itu, wajah anak-anak muda akan tersenyum—karena mereka tahu, mereka sedang pulang ke rumah. Rumah yang bernama Nahdlatul Ulama.

One response to “Anak Muda, NU, dan Masa Depan yang Harus Dijemput”

  1. Balai Pikir Avatar

    Subscribe balik bang, tulisannya keren

Leave a reply to Balai Pikir Cancel reply

Selamat datang bagi yang suka dengan data dan analisis seputar dunia pemasaran, sosial politik, dan digital

Let’s connect