Ada jarak yang kian terasa dalam kehidupan sehari-hari kita. Jarak itu tanpa kita sadari muncul dalam obrolan di rumah, di kantor, atau di media sosial. Misalnya, Ia hadir ketika orang tua bertanya mengapa anak muda terlihat begitu gelisah. Ia muncul ketika anak muda merasa generasi sebelumnya “tidak mengerti dan ketinggalan zaman”. Jarak itu adalah kesenjangan antar generasi, tentang bagaimana hidup dimaknai, apa itu sukses, dan untuk apa kita bekerja keras.
Survei nasional Alvara Research Center tahun 2025 memberi gambaran yang cukup jelas tentang jarak ini. Gen Z, Milenial, dan Gen X hidup dalam konteks sosial dan ekonomi yang sama, tetapi membawa tujuan hidup yang berbeda. Perbedaan itu bukan sekadar soal selera, melainkan cerminan fase hidup dan pengalaman kolektif yang tidak sama.
Bagi Gen Z, hidup masih dipahami sebagai ruang untuk terus bertumbuh. Data menunjukkan bahwa 31,1 persen Gen Z menjadikan peningkatan skill dan income mandiri sebagai tujuan hidup utama. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding Milenial dan Gen X. Bagi generasi ini, kemampuan bertahan dan berkembang menjadi kebutuhan mendesak. Dunia yang mereka masuki terasa semakin kompetitif, mahal, dan tidak selalu ramah. Maka bergerak, belajar, dan mandiri menjadi naluri.

Tidak mengherankan jika Gen Z juga sangat aktif secara sosial. Sebanyak 25,8 persen Gen Z menghabiskan waktu luang dengan nongkrong dan bersosialisasi, dan 48,4 persen menjadikan Instagram dan TikTok sebagai platform utama. Media sosial bagi mereka bukan sekadar hiburan, tetapi ruang pencarian identitas dan validasi sosial.
Namun Gen Z bukan generasi yang sepenuhnya impulsif. Ketika berhadapan dengan informasi, 28,6 persen Gen Z mengaku melakukan cek fakta dan riset terlebih dahulu sebelum membagikan sesuatu. Mereka tumbuh di tengah banjir informasi dan belajar bahwa kehati-hatian adalah bagian dari bertahan hidup di ruang digital.
Berbeda dengan Gen Z, orientasi hidup Milenial mulai bergeser. Survei menunjukkan bahwa 43,9 persen Milenial memaknai hidup ideal sebagai hidup yang tenang, tidak capek, dan damai. Angka ini menjadi yang tertinggi di kelompok Milenial. Hidup tidak lagi dilihat sebagai arena pembuktian, melainkan sebagai sesuatu yang perlu dijaga agar tidak runtuh.
Milenial berada di fase hidup yang padat. Tanggung jawab kerja, keluarga, dan masa depan bertemu dalam satu waktu. Dalam bahasa jawa meraka mengalami yang namanya “gaji gak sepiro, urip rekoso”. Maka wajar jika waktu luang mereka lebih banyak digunakan untuk pemulihan. Sebanyak 48,6 persen Milenial memilih menghabiskan waktu luang dengan tidur, menonton, dan bersantai di rumah. Istirahat bukan kemewahan, melainkan kebutuhan.
Dalam konsumsi informasi, sikap Milenial juga cenderung pragmatis. Sebanyak 51,6 persen Milenial mengaku mengikuti arus informasi saja, tanpa keterlibatan emosional yang besar. Perhatian mereka terbatas, dan hanya hal-hal yang relevan langsung dengan kehidupan sehari-hari yang benar-benar menarik minat.
Sementara itu, Gen X menunjukkan orientasi hidup yang semakin membumi. Sebanyak 36,3 persen Gen X memaknai hidup ideal sebagai merasa cukup dan tidak ribet, angka tertinggi dibanding generasi lain. Hidup yang baik bagi mereka bukan lagi hidup yang penuh pencapaian, tetapi hidup yang bisa dinikmati tanpa terlalu banyak tuntutan.
Pilihan aktivitas Gen X mencerminkan hal ini. Sebanyak 54,2 persen Gen X memprioritaskan santai di rumah sebagai cara menghabiskan waktu luang. Dalam konsumsi informasi, 43,6 persen Gen X baru peduli pada isu jika relevan secara personal.
Kesenjangan antar generasi mulai terasa ketika perbedaan orientasi ini tidak saling dipahami. Di mata Gen X, kegelisahan Gen Z sering terlihat berlebihan. Di mata Gen Z, sikap Gen X kerap terasa terlalu nyaman dan kurang peduli. Milenial berada di tengah, terjepit antara dorongan untuk terus maju dan kebutuhan untuk menjaga kewarasan.
Padahal, perbedaan ini lahir dari konteks hidup yang berbeda. Gen Z tumbuh di dunia yang serba cepat dan tidak pasti. Milenial tumbuh dengan janji stabilitas yang sebagian tidak terpenuhi. Gen X tumbuh di masa ketika kerja keras relatif lebih linear hasilnya. Maka tidak adil jika satu generasi diukur dengan standar generasi lain.
Perbedaan ini juga terlihat dari siapa yang dijadikan sumber inspirasi. Survei Alvara menunjukkan bahwa Gen Z masih relatif melihat figur publik dan mentor digital sebagai inspirasi. Namun pada Milenial dan Gen X, inspirasi terbesar justru datang dari orang biasa yang hidupnya terlihat bahagia, bukan dari sosok terkenal atau berpengaruh.
Lalu bagaimana menyikapi kesenjangan ini?
Langkah pertama adalah berhenti menghakimi. Gen Z tidak bisa diminta langsung berdamai dengan keadaan tanpa diberi ruang tumbuh. Milenial tidak bisa terus ditekan untuk “lebih ambisius” tanpa memperhatikan beban hidup yang mereka tanggung. Gen X tidak adil jika dicap apatis, padahal mereka sedang menjaga stabilitas hidup yang telah dibangun bertahun-tahun.
Langkah selanjutnya adalah membangun jembatan antar generasi. Di dunia kerja, misalnya, Gen Z membutuhkan ruang belajar dan eksplorasi, sementara Milenial dan Gen X membutuhkan struktur dan ritme yang manusiawi. Dalam kebijakan publik, generasi muda membutuhkan peluang nyata, sementara generasi yang lebih tua membutuhkan rasa aman dan keberlanjutan.
Pada akhirnya, setiap generasi membawa kegelisahan dan sekaligus juga harapan. Pemahaman utuh atas perbedaan antar generasi ini akan membuat kita memiliki ruang belajar bersama untuk lebih bijak dalam melihat setiap dinamika kehidupan masing-masing generasi.


Leave a comment