Menjadi bagian dari masyarakat Indonesia berarti kita akrab dengan istilah pesantren. Di benak kita, pesantren bukanlah semata tempat belajar agama, pesantren adalah ruang riyadhah spiritual, tempat menumbuhkan rasa ikhlas, dan juga menempa hidup sederhana. Bagi banyak orang, pesantren adalah benteng moral bangsa, lembaga pendidikan yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan akhlak dan kemandirian.
Namun, survei nasional terbaru Alvara Reseach Center pada bulan September 2025 tentang pandangan masyarakat muslim terhadap pesantren memberi kita potret yang lebih kompleks. Pesantren memang tetap menjadi simbol kebanggaan, tetapi di balik itu ada kegelisahan, dan sekaligus harapan yang tidak boleh kita abaikan.
Survei Alvara tersebut menemukan bahwa Pondok Pesantren yang telah memiliki jejak rekam panjang mendominasi popularitas pesantrean yang ada di Indonesia. Lima Pesantren yang paling populer dimata publik muslim antara lain Pesantren Darussalam Gontor (36,5%), disusul kemudian Pesantren Tebuireng Jombang (35,2%), Pesantren Liroboyo Kediri (26,1%), Pesantren Darunnajah Jakarta (14,6%), dan Pesantren Sidogiri Pasuruan (13,1%). Pesantren yang mampu membangun reputasi kuat dan konsistensi mutu, otomatis menjadi rujukan publik. Yang lain, meski sama-sama berdedikasi, kerap hanya dikenal oleh masyarakat sekitar.
Ada tiga faktor penting yang diharapkan orang tua ketika mereka memilih pesantren untuk anak-anak mereka. Pertama lokasi Pesantren, jarak dan kemudahan akses manjadi kunci utama memilih pesantren. Kedua, fasilitas yang ada di pesantren, mulai dari fasilitas pemondokan, fasilitas belajar, dan fasilitas pendukung lainnya. Ketiga, Kyai, Pengasuh pesantren harus memiliki kapasitas ilmu agama yang memadai sekaligus juga karismatik.
Fasilitas pendukung yang dianggap penting ada di pesantren adalah fasilitas kesehatan, perpustakaan, dan MCK. Masyarakat menginginkan standar baru. Kesederhanaan memang masih dianggap bagian dari pendidikan jiwa, tetapi orang tua kini, terutama dari kalangan kelas menengah perkotaan, lebih kritis, mereka ingin anaknya aman, sehat, dan hidup dalam lingkungan bersih.
Banyak pesantren kini mulai merespons tuntutan ini. Beberapa pesantren besar lain bahkan sudah memiliki klinik sendiri. Perpustakaan yang dulu identik dengan kitab klasik mulai dilengkapi dengan koleksi buku umum. Namun, tantangan masih besar. Ratusan pesantren kecil di daerah masih harus berjuang keras menyediakan fasilitas dasar, apalagi di tengah keterbatasan dana.
Salah satu hal menggembirakan dari temuan survei Alvara adalah harapan masyarakat terhadap kurikulum. Sebanyak 79,6 persen responden menginginkan kombinasi antara ilmu agama dan ilmu umum, tentu dengan porsi agama lebih besar sebagai ciri khas pesantren. Ini artinya masyarakat masih menaruh kepercayaan bahwa pesantren harus menjadi pusat pendidikan Islam, tetapi mereka juga ingin anak-anak santri dibekali ilmu modern untuk menjawab tantangan zaman.
Di sinilah pesantren punya peluang besar. Pesantren Lirboyo, dengan kedalaman ilmu klasiknya, bisa menjadi pusat fiqh yang tetap kokoh, tetapi juga bisa membuka diri terhadap teknologi informasi. Pesantren Tebuireng, yang memiliki tradisi intelektual luas, dapat menjadi jembatan antara kitab kuning dan ilmu sosial modern. Sidogiri, dengan jejaring ekonominya, berpotensi mengembangkan pendidikan kewirausahaan santri yang lebih sistematis.
Harapan masyarakat terhadap ilmu komputer, ekonomi, dan sains sebagai bidang keilmuan yang dipelajari pesantren bukanlah tuntutan kosong. Ia lahir dari kesadaran bahwa masa depan anak-anak harus diisi dengan keterampilan baru. Pesantren yang mampu menjawab aspirasi ini akan menjadi magnet bagi generasi muda muslim.
Meski demikian, ada hal yang membuat orang tua masih ragu, rasa takut. Survei menunjukkan bahwa 69 persen responden khawatir anak mereka mengalami kekerasan atau perundungan di pesantren, sementara 61,8 persen takut pada risiko pelecehan. Ini adalah alarm yang tidak bisa diabaikan.
Kasus-kasus kekerasan yang muncul di media telah melukai kepercayaan publik. Bagi pesantren-pesantren yang sudah ratusan tahun berdiri, ini bisa menjadi ancaman serius. Jika pesantren gagal menjamin keamanan santri, maka kepercayaan masyarakat bisa runtuh, meski tradisinya kuat dan sejarahnya panjang.
Oleh karena itu, pesantren perlu membangun sistem pengawasan internal yang lebih ketat. Kiai, ustaz, dan pengurus pesantren harus sadar bahwa zaman sudah berubah. Santri tidak lagi bisa dianggap sebagai anak yang harus tunduk total tanpa ruang aman. Mereka punya hak untuk belajar di lingkungan bebas kekerasan.
Pertanyaannya apakah pesantren masih diminati? Hasil survei menunjukkan 59 persen masyarakat menyatakan minat memondokkan anaknya di pesantren, artinya sebenarnya masyarakat masih punya harapan besar terhadap pesantren.
Pesantren yang sudah memiliki basis jamaah, sebenarnya punya peluang besar untuk memanfaatkan minat ini. Dengan syarat, mereka berbenah: memperbaiki fasilitas, menjamin keamanan, dan membuka diri pada sains modern. Jika itu dilakukan, lonjakan jumlah santri bisa terjadi dalam satu dekade mendatang.
*****
Ketika saya berbincang dengan seorang teman yang alumni Lirboyo, ia bercerita bagaimana dulu hidup sederhana di pesantren menjadi pengalaman yang membentuk ketahanan mental. Makan seadanya, tidur di asrama padat, belajar kitab hingga larut malam. Tetapi ia bangga, karena dari sanalah ia belajar kesabaran. Namun kini, saat ia menjadi ayah, ia ragu apakah akan mengirim anaknya ke pesantren. “Saya ingin anak saya jadi alim,” katanya, “tapi saya juga ingin dia sehat, aman, dan siap menghadapi dunia kerja.”
Pernyataan itu, menurut saya, mewakili banyak orang tua muslim hari ini. Mereka tidak menolak pesantren. Justru mereka ingin pesantren tetap menjadi pilihan utama. Tetapi pilihan itu hanya akan diambil jika pesantren menjawab tantangan zaman.
Pesantren dengan basis sosial dan tradisi yang kuat, berada di garis depan untuk menjawab tantangan ini. Jika mereka mampu bertransformasi, maka pesantren tidak hanya akan melahirkan ulama, tetapi juga ilmuwan, teknokrat, dan pemimpin bangsa yang berakar kuat pada agama sekaligus tangguh menghadapi modernitas.
Menurut saya masa depan pesantren tergantung pada pilihan yang akan ia ambil. Bertahan dengan wajah lama, menekankan tradisi dan kesederhanaan, atau ia bisa berubah menjadi institusi pendidikan yang adaptif dengan perkembangan zaman tanpa harus kehilangan jati diri. Jika pesantren dengan ribuan jaringannya, mampu menjawab tuntutan masyarakat, maka wajah baru pesantren akan lahir: pesantren yang aman, sehat, inklusif, sekaligus relevan dengan zaman.
Dan di situlah, pesantren akan kembali menemukan makna abadinya, bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan pilihan terbaik untuk masa depan.


Leave a comment