Purbaya dan Seni Mengubah Sentimen

Ketika nama Purbaya diumumkan sebagai Menteri Keuangan, publik menyambut dengan penuh tanda tanya dan diselimuti keraguan. Banyak yang menanggapinya dengan sinis, skeptis, bahkan ada yang mengernyitkan dahi: siapa dia, seberapa cakap, dan sanggupkah ia melanjutkan tongkat estafet yang selama ini dipegang oleh figur sekelas Sri Mulyani?.

Keraguan itu bukan tanpa sebab. Dikalangan ekonom atau pelaku bisnis dan pasar modal nama Purbaya mungkin sudah dikenal, tapi di publik secara luas, “brand” Purbaya masih sangat minim, termasuk saya. Saat Presiden Prabowo mengumumkan pergantian Menkeu, kebetulan saya sedang ngobrol dengan seorang wartawan senior, dia mengatakan Purbaya ini orang bagus. Dikesempatan lain saya bertemu seseorang yang pernah berinteraksi dengan Purbaya, dia mengatakan Purbaya ini “thas-thes”, cepat mengambil keputusan. Mungkin karena pernah membantu Pak Luhut, jadi mungkin ilmunya nular.

Pasar pun sempat waswas: jangan-jangan Menkeu baru ini akan gegabah, lebih banyak bicara daripada kerja. Sebagian ekonom bahkan khawatir gaya komunikasinya yang blak-blakan bisa memicu kegaduhan baru di sektor keuangan.

Data pasar mempertegas kepanikan awal itu. Pada hari pengangkatannya, IHSG langsung anjlok −1,28% ke level 7.766,84, sempat naik sebentar ke 7.781,14, tapi akhirnya ditutup melemah lebih dalam, −1,78% ke posisi 7.628,60. Rupiah pun tergelincir, sempat melemah lebih dari 1% ke kisaran Rp 16.488 per USD. Investor asing mencatatkan aksi jual bersih (net foreign sell) lebih dari Rp 525 miliar di pasar saham hari itu. Angka-angka ini jelas menunjukkan keraguan pasar: apakah Purbaya mampu memberi arah kebijakan yang kredibel?

Namun hanya dalam hitungan minggu, bahkan sebelum ia sempat menelurkan kebijakan strategis jangka panjang, narasi tentang Purbaya bergeser dengan cepat. Dari semula diragukan, kini ia dipuji. Dari semula dianggap sebagai pilihan yang membingungkan, sekarang dinilai mampu menyegarkan. Ia berhasil melakukan sesuatu yang jarang bisa dikuasai oleh pejabat publik di negeri ini: membalik arus sentimen dalam waktu singkat. Bagaimana caranya?

Dari Tekno­krat ke Komunikator
Perubahan sentimen itu tak bisa dilepaskan dari gaya komunikasi Purbaya yang sejak awal berbeda dari pendahulunya. Sri Mulyani, dengan segala kredibilitas dan rekam jejak internasionalnya, memancarkan aura teknokratis. Ucapannya sarat data, penuh istilah ekonomi, namun seringkali berjarak dari bahasa keseharian masyarakat. Kredibilitas akademiknya membuat publik yakin akan kapasitasnya, tetapi sekaligus menciptakan kesan berjarak.

Purbaya, sebaliknya, datang dengan gaya yang jauh lebih lugas. Ia tahu betul bahwa publik tidak butuh disuguhi tabel makroekonomi yang rumit. Masyarakat ingin penjelasan sederhana: apa artinya bagi harga kebutuhan sehari-hari, seberapa aman tabungan mereka, dan bagaimana arah pembangunan ekonomi negara ini. Purbaya tampil bukan sebagai dosen ekonomi, melainkan sebagai komunikator yang memindahkan bahasa teknis keuangan ke dalam bahasa dapur rumah tangga.

Ia menggambarkan berbagai kerumitan menjadi sesuatu yang lebih gamblang. Tidak ada lagi jargon yang hanya dipahami segelintir ekonom. Yang ada adalah kalimat-kalimat langsung, tegas, bahkan terkadang terdengar cenderung populis. Dia kemudian dijuluki publik sebagai “Menteri Koboi”

Kecepatan Menangkap Momentum
Faktor lain yang membuat Purbaya cepat mendapat simpati adalah kecepatannya merespons isu. Mulai dari statemen awal paska dilantik hingga soal komentar anaknya yang memicu sentimen negatif di sosial media direspon dengan cepat. Dalam era media sosial, opini publik bisa berbalik hanya dalam hitungan jam. Purbaya tampaknya paham betul hukum komunikasi zaman ini: jangan biarkan rumor menggantung terlalu lama. Begitu ada isu yang bisa mengikis kepercayaan, ia segera muncul, memberi klarifikasi, bahkan sebelum pertanyaan itu benar-benar membesar.

Kecepatan ini kontras dengan gaya lama birokrasi yang biasanya menunggu, berhitung, atau menyiapkan jawaban resmi. Purbaya memecahkan pola itu. Ia lebih memilih muncul cepat, memberi kepastian, lalu menenangkan publik dengan cara sederhana. Dengan begitu, ia bukan hanya meredam isu, tapi sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah hadir.

Langkah-langkah kebijakan awal Purbaya justru berhasil meredakan keraguan pasar. Salah satunya adalah keputusannya mempercepat realisasi stimulus fiskal di sektor riil, khususnya bagi UMKM yang sempat terpukul oleh perlambatan ekonomi global. Ia juga mempertegas komitmen menjaga defisit anggaran tetap dalam batas aman, sembari memberi sinyal bahwa disiplin fiskal tidak akan dikorbankan.

Respons pasar pun berubah. Setelah penurunan tajam di hari pelantikan, IHSG mulai perlahan pulih, kembali “menghijau”. Investor asing yang sempat menarik diri kembali masuk setelah Purbaya menegaskan bahwa transparansi fiskal akan menjadi prioritas. Rupiah juga kembali stabil di kisaran Rp 16.300–16.400 per USD setelah sempat anjlok. Bahkan lembaga riset pasar menilai koreksi awal itu lebih bersifat psikologis ketimbang fundamental, dan optimisme jangka menengah tetap terjaga.

Antitesis yang Direncanakan?
Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah Purbaya memang sengaja membentuk dirinya sebagai antitesis Sri Mulyani? Sulit untuk tidak melihat kontrasnya. Sri Mulyani dikenal sebagai menteri yang perfeksionis, serius, penuh perhitungan. Purbaya tampil lebih cair, komunikatif, bahkan kadang menyelipkan humor.

Di satu sisi, gaya ini bisa dianggap sebagai strategi sadar: menghadirkan sesuatu yang berbeda agar publik tidak merasa sekadar mendapat “versi murah” dari menteri sebelumnya. Purbaya seakan berkata, ia tidak sedang menggantikan Sri Mulyani, ia menawarkan sesuatu yang lain. Dan publik tampaknya menyambut baik perbedaan itu, sebab manusia cenderung menyukai hal baru setelah bertahun-tahun terbiasa dengan satu gaya.

Namun di sisi lain, gaya Purbaya juga tampak natural. Ia tidak berusaha menjadi Sri Mulyani, justru karena ia tahu tidak mungkin menyaingi kredibilitas teknokratik yang sudah begitu melekat. Maka ia memilih jalur berbeda: menjadi pemimpin yang dekat, yang lebih mudah dipahami, yang bisa bicara tentang APBN sekaligus menyapa publik seolah kawan lama.

Kunci Keberhasilan: Keberanian Menjadi Diri Sendiri
Ada satu hal yang jarang disorot namun sebenarnya krusial: keberanian untuk menjadi diri sendiri. Banyak pejabat publik ketika masuk ke jabatan tinggi justru terjebak dalam bayangan pendahulunya. Mereka sibuk membandingkan, meniru, atau malah defensif. Purbaya tampaknya tidak peduli pada jebakan itu. Ia membangun persona kepemimpinan yang berbeda sejak hari pertama.

Keberanian itu membuatnya justru tampak otentik. Publik, pada akhirnya, lebih menghargai otentisitas ketimbang kepura-puraan. Kalimat-kalimat Purbaya, meski sederhana, terasa jujur. Gesturnya, meski tidak selalu sempurna, terasa tulus. Otentisitas inilah yang memberi daya tarik tambahan, menjadikannya cepat diterima.

Fenomena Purbaya tidak sekadar soal satu orang. Ini adalah cermin perubahan besar dalam cara komunikasi politik-ekonomi dijalankan. Kita hidup di era di mana kredibilitas tidak hanya diukur dari gelar akademik atau posisi internasional, tetapi juga dari kemampuan berkomunikasi dengan publik luas.

Pelajaran pentingnya: kepemimpinan di era sekarang tidak bisa lagi hanya mengandalkan kompetensi teknis. Ia juga harus dibarengi dengan kapasitas komunikasi, kemampuan membaca psikologi massa, serta keberanian tampil cepat dan jelas. Dalam arti tertentu, Purbaya sedang memperlihatkan pendekatan baru, bukan sebagai teknokrat dingin yang jauh dari rakyat, melainkan komunikator yang bisa merangkul sekaligus mengarahkan.

Gaya Baru atau Tren Sesaat?
Lalu apakah Purbaya akan menjadi Menkeu yang berhasil menjadi akselator sekaligus penjaga gawang kebijakan ekonomi Indonesia? Terlalu dini untuk menjawabnya, jalan terjang masih akan dilalui, dan layak untuk kita tunggu kebijakan-kebijakan selanjutnya.

Pertanyaan terakhir yang layak direnungkan: apakah gaya Purbaya ini hanya tren sesaat, atau akan menjadi pola baru bagi pejabat publik Indonesia?

Sejarah akan menjawabnya. Namun yang jelas, Purbaya sudah memberi pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi dalam memimpin. Ia berhasil menunjukkan bahwa membalik sentimen publik tidak selalu butuh kebijakan spektakuler; kadang cukup dengan gaya kepemimpinan yang tepat, komunikasi yang otentik, dan keberanian untuk berbeda.

Dan mungkin, justru karena ia berani menjadi antitesis dari pendahulunya, Purbaya berhasil menghadirkan warna baru yang dibutuhkan publik. Sebuah warna yang, siapa tahu, akan menjadi standar baru dalam kepemimpinan para pejabat kita.

Leave a comment

Selamat datang bagi yang suka dengan data dan analisis seputar dunia pemasaran, sosial politik, dan digital

Let’s connect