Dunia sedang bergejolak, aksi protes terjadi dibanyak negara. Ada yang berlangsung damai, ada yang berujung pada kerusuhan masal. Aksi protes itu pun tidak lagi hanya diwarnai orasi kaku dan spanduk dengan tulisan panjang yang membosankan. Kini kita melihat bendera bajak laut ala One Piece berkibar di tengah kerumunan, hashtag viral berseliweran di TikTok, dan ribuan anak muda berpakaian hitam mengangkat ponsel mereka untuk merekam. Mereka adalah Generasi Z—anak-anak yang lahir di akhir 1990-an hingga awal 2010-an—yang kini menjelma motor gelombang demonstrasi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Bila kita runut ke belakang, fenomena ini bukan milik Indonesia saja. Dalam satu dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana demonstrasi besar di berbagai negara digerakkan anak muda. Di Hong Kong tahun 2019, mahasiswa dan pelajar SMA menggunakan Telegram dan forum daring LIHKG untuk mengatur aksi. Di Thailand tahun 2020, mahasiswa berani menantang monarki dengan bahasa meme dan fandom K-pop. Di Kenya pada 2024 dan 2025, Gen Z mengorganisasi protes biaya hidup lewat TikTok dengan hasil mengejutkan: pemerintah terpaksa mencabut pajak kontroversial. Puncaknya baru-baru ini terlihat di Nepal, ketika larangan media sosial justru melahirkan aksi Gen Z terbesar dalam sejarah negeri itu. Belasan orang tewas, ratusan luka-luka, dan seorang perdana menteri akhirnya harus mundur.
Apa yang sama dari semua gerakan ini? Generasi muda bergerak cepat, tanpa hierarki kaku, dan berani menantang kekuasaan. Mereka tidak lagi menunggu jalur formal politik, melainkan memilih aksi mendobrak kemapanan.
Pertanyaannya adalah kenapa Gen Z begitu berani? Apa latar belakangnya?. Setiap negara tentu memiliki konteks yang berbeda-beda, namun secara umum ketidakpastian tentang masa depan membuat Gen Z lantang bersuara. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mencatat lebih dari 64,9 juta pemuda dunia menganggur pada 2023. Di Indonesia sendiri, keresahan soal biaya hidup, sulitnya mencari kerja, dan gaji yang tidak sebanding dengan kebutuhan menjadi topik sehari-hari di kantin kampus, kafe pinggir jalan, hingga grup WhatsApp keluarga.
Namun lebih dari itu, rendahnya kepercayaan pada institusi politik menambah lapisan frustrasi. Data IDN Research tahun 2024 menunjukkan 59 persen Gen Z Indonesia mengaku sangat tidak puas dengan demokrasi, hanya 1,7 persen yang merasa sangat puas. Kepercayaan terhadap DPR bahkan sering kali masuk klasemen zona degradasi. Jika jalur formal dianggap tidak meyakinkan, jalanan dan ruang digital terasa lebih menjanjikan untuk menyalurkan suara.
Gaya protes yang mereka lakukan juga khas. Jika mahasiswa 1998 dikenal dengan spanduk, orasi, dan aksi heroik, maka Gen Z memilih bahasa meme dan budaya pop. Mereka bergerak tanpa pemimpin tunggal, lebih suka koordinasi lewat grup Telegram atau Discord. Struktur yang longgar ini membuat gerakan sulit dibungkam sekaligus rentan pecah. Meme menjadi bahasa politik baru. Dari bendera bajak laut One Piece di Jakarta hingga parodi fandom K-pop di Bangkok, budaya populer berfungsi sebagai alat kritik yang lebih mudah dicerna. Mereka pun bergerak seperti kawanan lebah, cepat, berpindah lokasi, menyesuaikan situasi, sulit ditebak aparat. Dunia daring dan luring menyatu, memperlihatkan bagaimana tren di media sosial bisa berwujud aksi massa hanya dalam hitungan jam.
Kita tidak perlu melihat jauh untuk menemukan contohnya. Awal 2025, publik Indonesia dikejutkan oleh aksi bertajuk “Indonesia Gelap.” Mahasiswa berpakaian hitam turun ke jalan menentang pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan. Tagar #IndonesiaGelap viral, memicu aksi di berbagai kota. Tak lama berselang, muncul gelombang penolakan terhadap revisi UU TNI yang dianggap mengikis prinsip sipil dalam demokrasi. Ketika isu tunjangan DPR yang mencapai Rp50 juta per bulan mencuat—nyaris sepuluh kali upah minimum Jakarta—kemarahan publik kian membesar. Kali ini mahasiswa, pekerja, dan masyarakat sipil turun bersama.
Tidak semua protes muncul di jalan raya. Ada pula ekspresi lebih “sunyi” namun tidak kalah politis, seperti hashtag #KaburAjaDulu yang ramai di media sosial. Generasi muda mengungkapkan keinginan untuk “lari” ke luar negeri karena frustrasi dengan kondisi ekonomi dan politik. Protes di sini hadir dalam bentuk eksodus, bukan orasi. Bahkan di daerah, seperti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, warga menolak kenaikan pajak bumi dan bangunan secara drastis. Meski bukan murni gerakan mahasiswa, kehadiran Gen Z lokal yang memobilisasi massa lewat grup WhatsApp dan Facebook sangat terasa.
Data-data memperlihatkan betapa besar potensi mereka. Populi Center menghitung Gen Z sebagai 21 persen pemilih dalam Pemilu 2024. Survei Katadata Insight tahun 2023 menemukan hampir 87 persen anak muda tetap menggunakan hak pilihnya. Survei Alvara tahun 2022 menegaskan bahwa hampir semua Gen Z Indonesia sudah online, bahkan sepertiga di antaranya tergolong pengguna yang kecanduan internet. Artinya, mereka adalah generasi digital sepenuhnya, yang mencari ekspresi politik tidak hanya lewat bilik suara, tapi juga lewat meme, tagar, dan aksi massa.
Alvara pada 2025 bahkan merilis laporan bertajuk “Gen Z Galau Menatap Masa Depan.” Di dalamnya tergambar kecemasan kolektif tentang pekerjaan, keuangan, dan kehidupan sosial. Meski mahir berselancar di dunia digital, mereka belum matang dalam perencanaan finansial. Tingkat stres dan kecemasan tinggi, dan aksi kolektif menjadi salah satu kanal pelepasan. Mereka hidup dalam tekanan ganda: globalisasi dan digitalisasi membuka peluang besar, namun juga menghadirkan kompetisi dan ekspektasi yang tak kalah besar. Tidak heran sebagian memilih melawan lewat protes, sebagian lain memilih “kabur.”
Apakah protes mereka efektif? Sejarah memperlihatkan bahwa gerakan non-kekerasan lebih berhasil daripada yang berbasis kekerasan. Namun riset Chenoweth dan Stephan menunjukkan keberhasilan aksi non-kekerasan menurun sejak awal 2000-an. Pemerintah makin lihai membungkam lewat regulasi, represi, bahkan disinformasi.
Risikonya tentu tidaklah kecil. Nepal kehilangan belasan nyawa, Hong Kong kehilangan banyak kebebasan sipil, Thailand menghadapi kriminalisasi mahasiswa. Di Indonesia, kita menyaksikan aparat membubarkan massa dengan gas air mata, atau ancaman kriminalisasi terhadap simbol seperti bendera One Piece. Selain represi, ada juga bahaya fragmentasi isu dan kelompok masyarakat. Tanpa koordinasi dan strategi jangka panjang, tuntutan bisa melebar dan kehilangan fokus. Isu bisa ditunggangi pihak politik lain, dan dukungan publik mudah hilang bila aksi dianggap sekadar mengganggu ketertiban tanpa menawarkan solusi
Bagi pemerintah, pesannya sederhana. Merespons Gen Z bukan dengan represi, melainkan dengan terjun membersamai mereka. Yang dibutuhkan adalah transparansi, keadilan fiskal, peluang kerja bermutu, penegakan hukum yang konsisten, serta ruang partisipasi yang nyata. Mengabaikan suara Gen Z sama saja dengan mengabaikan masa depan.
Mereka mungkin mengekspresikan protes lewat meme, bendera bajak laut, atau tagar yang lucu, tetapi keresahan mereka nyata. Gen Z adalah generasi yang suka dengan simbol-simbol lucu, tetapi mereka juga generasi serius. Mereka sedang menuntut hak yang paling mendasar: masa depan yang layak. Dan itu adalah tanggung jawab para pemegang kuasa.



Leave a comment