Data dan Realitas: Cermin yang Tak Pernah Retak?

Dalam setiap perdebatan publik baik terkait sektor ekonomi maupun sosia politik, kita kerap mendengar kalimat: “Data tidak sesuai dengan kenyataan.” Pernyataan ini sering muncul ketika angka resmi pemerintah terasa berbeda dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. Saat BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kwartal II 2025 sebesar 5,12%, banyak pihak yang meragukan angka itu, karena mereka berpendapat pertumbuhan ekonomi tidak sebesar itu karena banyak indikator lain menunjukkan sebaliknya, seperti adanya penurunan daya beli, PHK ada dimana-mana. Di kontestasi politik menjelang pemilu, angka survei elektabilitas partai atau kandidat kerap dianggap jauh dari realitas lapangan.

Namun, benarkah data bisa bertentangan dengan realitas? Jika kita telaah lebih dalam, sebenarnya tidak sepenuhnya valid. Data adalah cermin. Ia merekam apa yang terjadi di dunia nyata. Jika terasa tidak sesuai, masalahnya bukan pada data sebagai fakta mentah, melainkan pada cara kita mengumpulkan, memilih, dan menafsirkan data tersebut.

Bayangkan ada sebuah cermin di kamar. Cermin itu tidak pernah berbohong. Ia hanya memantulkan. Jika pantulannya terlihat aneh, maka mungkin ada noda di permukaan atau cahaya yang kurang. Sama halnya dengan data: ketika terasa “tidak sesuai kenyataan”, sesungguhnya ada persoalan pada bagaimana metode pengumpulan, desain survei, atau bingkai interpretasi yang kita pakai. Realitas tetaplah ada, kokoh, dan data tidak mungkin lepas dari realitas.

Sejumlah pemikir modern mengingatkan hal ini. Nassim Nicholas Taleb, penulis buku Fooled by Randomness (2001) dan The Black Swan (2007), misalnya, kerap menekankan bahwa persoalan bukan terletak pada data, melainkan pada bias manusia dalam memilih dan menafsirkan data. Pandemi COVID-19 memberi pelajaran jelas. Realitas tentang penyebaran virus dan angka kematian tidak bisa dibantah. Jika data resmi tampak mengecilkan, penyebabnya adalah seleksi laporan, keterbatasan tes, atau masalah transparansi, bukan karena data itu melawan realitas.

Hal serupa kita jumpai dalam ekonomi. Inflasi nasional bisa diumumkan hanya tiga persen, tetapi di pasar tradisional harga cabai, beras, atau telur melonjak lebih tajam. Apakah data inflasi keliru? Tidak. Data dihitung dari keranjang konsumsi tertentu yang mungkin tidak sama dengan pola belanja rumah tangga kita. Realitas harga tetap terekam, hanya saja cerminnya dibingkai dengan ukuran lain. Viktor Mayer-Schönberger, akademisi di bidang data science, penulis buku Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think, sering mengingatkan bahwa data selalu dipengaruhi oleh desain dan kepentingan yang melatarinya. Dengan kata lain, data adalah representasi parsial, bukan keseluruhan realitas.

Dalam dunia olahraga, contoh lebih ringan bisa kita temukan. Sebuah tim sepak bola, Arsenal misalnya, dalam sebuah pertandingan Liga Inggris bisa mendominasi 70 persen penguasaan bola tetapi tetap kalah 0–2. Statistik penguasaan bola itu tidak salah, hanya saja realitas kemenangan ditentukan oleh gol. Data tidak bertentangan dengan kenyataan, ia hanya merekam potongan lain dari kenyataan yang lebih kompleks.

DJ Patil, mantan Chief Data Scientist di Gedung Putih, Amerika Serikat, juga menekankan pentingnya membangun kepercayaan pada data. Menurutnya, kepercayaan lahir bukan karena data dianggap mutlak benar, melainkan karena kita sadar bahwa data adalah jendela. Dan setiap jendela punya bingkai. Semakin kita memahami bingkainya—apakah berasal dari metodologi survei, sensor alat, atau algoritma—semakin jelas pula realitas yang kita lihat.

Pun bahwa pengetahuan selalu bersifat sementara, bisa diuji ulang, dan bisa disanggah. Data, dalam kerangka ini, adalah catatan sementara tentang realitas. Ia bukan kebenaran mutlak, tetapi juga tidak pernah keluar dari orbit kenyataan. Bahkan ketika data dipalsukan, ia tetap menggunakan realitas sebagai acuan. Angka kematian yang dimanipulasi tetap berbicara tentang kematian yang benar-benar terjadi, hanya saja dipelintir.

Maka, ketika publik berkata “data tidak sesuai kenyataan,” sebenarnya yang terjadi adalah benturan antara fragmen data yang terbatas dengan pengalaman manusia yang lebih luas. Data adalah peta, bukan wilayah itu sendiri. Filsuf Alfred Korzybski mengingatkan bahwa “the map is not the territory.” Peta bisa salah skala, bisa melewatkan detail, tetapi ia tetap merujuk pada wilayah nyata.

Tantangan kita hari ini justru menjaga agar data tetap dipercaya sebagai cermin realitas. Di era banjir informasi, ketika “big data” menjanjikan analisis miliaran jejak digital, godaan untuk memanipulasi data demi kepentingan politik atau ekonomi sangat besar. Jika kita lupa bahwa data pada hakikatnya hanya pantulan kenyataan, kita akan mudah tergoda menggunakannya untuk membentuk persepsi palsu.

Di sinilah letak pentingnya tanggung jawab etis dan moral. Data tidak pernah bertentangan dengan realitas, tetapi manusia bisa menyalahgunakan data untuk bertentangan dengan hati nurani. Karena itu, pekerjaan penting bukan hanya mengumpulkan dan mengolah data, tetapi juga membersihkan cermin itu dari kabut bias dan noda kepentingan.

Pada akhirnya, realitas tetaplah teguh. Ia tidak berubah hanya karena tabel-tabel statistik menuliskan angka lain. Data bisa dipilih, dipotong, atau dipelintir, tetapi ia tidak pernah bisa melawan kenyataan yang menjadi sumbernya. Bahwa di balik angka selalu ada fakta kehidupan, dibalik visualisasi grafik selalu ada manusia dibelakangnya, dan di balik big data selalu ada big reality.

Leave a comment

Selamat datang bagi yang suka dengan data dan analisis seputar dunia pemasaran, sosial politik, dan digital

Let’s connect