Tiga hari terakhir ini Jakarta berubah menjadi panggung besar kemarahan rakyat. Jalan-jalan di sekitar Senayan dan Markas Brimob Kwitang penuh sesak oleh ribuan orang yang berteriak, mengangkat poster, dan melawan gas air mata. Juga di sudut jakarta yang lain. Mereka bukan sekadar massa tanpa tujuan; mereka adalah cerminan dari keresahan yang telah lama menumpuk. Aksi kali ini dipicu oleh tragedi yang menyayat hati: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas ditabrak kendaraan rantis polisi di sekitar kompleks DPR.
Video kematian Affan menyebar luas di media sosial. Wajahnya yang tergeletak di jalan menjadi simbol ketidakadilan baru. Dalam hitungan jam, kemarahan tidak lagi terbatas di Jakarta. Makassar, Bandung, Yogyakarta, hingga Surabaya ikut bergolak. Gedung DPRD dibakar, halte dan pos polisi rusak. Situasi ini mengingatkan kita bahwa kematian seorang warga kecil bisa menggerakkan ribuan orang lain yang merasa bernasib sama: rapuh, tidak terlindungi, dan ditinggalkan negara.
Namun, membatasi analisis pada insiden Affan saja akan menutup mata pada akar masalah yang jauh lebih dalam. Insiden itu hanyalah percikan api yang menyulut bara ketidakpuasan yang telah lama tersimpan dalam bara hati mereka.
Beberapa kali orang nanya saya apakah ekonomi kita memburuk?, apakah negara kita tambah miskin?. Saya katakan secara kumulatif ekonomi kita terus tumbuh positif, APBN kita naik terus. Masalahnya adalah sekarang ini sekelompok atau beberapa kelompok orang sedang melakukan konsolidasi sumber daya ekonomi, mereka menyedot dana dengan berbagai cara dan mengakumulasikannya hanya disekitar mereka.
Hal ini berakibat kondisi ekonomi terutama di kelompok masyarakat menengah bawah bergejolak, hidup di kota besar semakin berat. Berbagai data menunjukkan kelas menengah Indonesia turun kelas, makan tabungan menjadi hal lumrah sekarang. Pada saat yang sama, lebih dari 42 ribu pekerja kehilangan pekerjaan hanya dalam enam bulan pertama tahun ini. Di sejumlah daerah, pajak tanah dan properti naik hingga seribu persen. Semua tekanan ini membuat rakyat merasa sendirian menghadapi krisis.
Kontrasnya terasa makin pahit ketika rakyat menyaksikan bagaimana anggota DPR menikmati kenaikan tunjangan hunian anggotanya hingga Rp50 juta per bulan. Jumlah itu setara sepuluh kali upah minimum Jakarta. Ironi ini mengiris nurani publik. Bagaimana mungkin wakil rakyat menambah fasilitas mewah di tengah gelombang PHK dan biaya hidup makin tinggi. Tidak heran bila muncul keyakinan luas bahwa negara bekerja bukan untuk rakyat, melainkan untuk kenyamanan elite.
Ketidakadilan ini kian lengkap dengan wajah aparat keamanan yang tampil represif. Polisi, yang seharusnya melindungi, justru dianggap mengancam. Insiden Affan adalah contoh terbaru, tapi masyarakat tentu masih mengingat mahasiswa yang dipukul saat demonstrasi, buruh yang dibubarkan paksa, hingga warga desa yang dikriminalisasi karena mempertahankan tanah.
Dengan latar seperti itu, krisis representasi politik semakin kentara. Banyak orang merasa suara mereka tak lagi terwakili di parlemen maupun partai. Partai sibuk berkoalisi, bagi kursi, dan mengurus kepentingan elektoral, sementara isu nyata rakyat tak kunjung terselesaikan. Akibatnya, rasa keterasingan politik semakin dalam. Demokrasi prosedural tetap berjalan, tetapi legitimasi moralnya runtuh. Aspirasi rakyat tidak menemukan rumah di lembaga formal, sehingga turun ke jalan menjadi pilihan.
Peran media sosial membuat semua ini kian cepat membesar. Video, foto, dan narasi ketidakadilan menyebar luas hanya dalam hitungan menit. Solidaritas lintas kota terbentuk spontan. Buruh, mahasiswa, aktivis, hingga pengemudi ojol bisa bergerak bersama meski tanpa komando terpusat. Inilah wajah baru politik mobilisasi rakyat: cair, horizontal, tetapi sangat efektif.
Di titik ini, jelas bahwa maraknya demonstrasi tidak bisa dilepaskan dari krisis yang lebih fundamental: krisis hubungan antara negara dan rakyat. Negara dipersepsi bekerja untuk elite, bukan untuk publik. Aparat dilihat sebagai ancaman, bukan pelindung. Parlemen sibuk memperjuangkan fasilitas, sementara rakyat berjibaku dengan harga pangan. Di mata banyak orang, negara semakin menjauh, meninggalkan rakyat untuk bertahan sendiri.
Selama akar persoalan ini tidak dibenahi, protes akan terus berulang. Insiden Affan hanyalah simbol, dan akan ada simbol-simbol lain di masa depan bila akar ketidakadilan tetap dibiarkan. Pemerintah bisa saja menurunkan ribuan aparat, menyemprotkan gas air mata, atau menahan demonstran, tetapi itu hanya meredam gejala di permukaan. Bara di bawah tanah tetap menyala, menunggu percikan berikutnya.
Pertanyaannya bukan lagi mengapa rakyat marah, melainkan mengapa negara tidak kunjung belajar mendengar. Keadilan sosial tidak boleh berhenti sebagai jargon dalam konstitusi. Ia harus hadir nyata dalam berbagai kebijakan negara. Perlindungan terhadap rakyat kecil tidak bisa hanya jadi pidato berapi-api diatas mimbar, tetapi perlu dibuktikan dalam tindakan aparat yang mengayomi, bukan menakut-nakuti. DPR harus sadar bahwa gedung megah mereka dibangun dari keringat rakyat, bukan tiket untuk hidup mewah.
Jika negara gagal membenahi akar ini, maka jalanan akan terus penuh. Demonstrasi akan menjadi ruang permanen, bukan sekadar reaksi sesaat. Itu berarti negara kehilangan mekanisme sehat untuk mendengar warganya, dan demokrasi kita hanya tinggal kulitnya.



Leave a comment