Saya masih ingat betul suasana jalanan di tahun 1990-an, ketika Orde Baru masih berkuasa. Menjadi aktivis kampus saat itu berarti siap berhadapan dengan gas air mata, pentungan aparat, dan risiko dipenjara. Karena itu pilihan menjadi aktivis adalah sebuah kebanggaan, status sosialnya diatas mahasiswa kebanyakan. Spanduk lusuh, pengeras suara seadanya, serta selebaran fotokopian menjadi senjata utama kami. Kami berteriak di depan gedung DPR atau istana, berharap suara kami bisa mengubah negara, aroma perlawanannya kala itu sangat kuat. Kini, tiga dekade kemudian, pemandangan itu berubah. Aktivisme anak muda tidak lagi hanya hidup di jalanan, melainkan berpindah ke layar. Dari spanduk ke feed Instagram. Dari orasi berjam-jam ke video TikTok berdurasi 60 detik. Dari pamflet fotokopian ke thread panjang di Twitter/X.
Generasi hari ini lahir dan tumbuh dalam pelukan teknologi. Data Friedrich-Ebert-Stiftung (2021) mengutip survei Alvara Research Center mencatat lebih dari 80 persen anak muda Indonesia sudah terkoneksi internet, dengan Gen Z rata-rata menghabiskan tujuh jam sehari di dunia maya. Internet bukan sekadar alat, melainkan ruang hidup utama. Menurut survei IDN Research Institute (2025), 53 persen Milenial dan Gen Z mengaku terlibat dalam aktivisme digital, dari penggunaan tagar hingga podcast dan media alternatif. Bahkan, 31 persen Gen Z dan 22 persen Milenial menyatakan aksi di media sosial mendorong mereka turun ke aksi nyata. Dunia digital bukan hanya ruang ekspresi, tetapi pintu masuk keterlibatan sosial-politik yang lebih luas.
Sebagai contoh tahun 2019 banyak tagar perlawanan yang muncul di media sosial diantaranya #ReformasiDikorupsi, lalu 2020 dengan #TolakOmnibusLaw, atau yang paling baru tagar #bubarkanDPR tahun 2025. Jagat sosial media bagai lautan protes digital, menyatukan ribuan suara yang kemudian meletup menjadi aksi jalanan. Saya melihat fenomena ini sebagai sebuah lompatan besar. Jika dulu butuh berhari-hari koordinasi untuk menggerakkan massa, kini satu unggahan bisa menjangkau ribuan orang dalam hitungan menit. Tagar adalah spanduk baru, timeline adalah jalanan baru.
Yang menarik, isu yang diangkat generasi hari ini jauh lebih beragam dibanding era kami. Jika dulu fokus utama adalah demokratisasi dan melawan rezim otoriter, kini anak muda berbicara tentang beragam isu, misal soal hak minoritas, kebebasan berekspresi, atau ketidakpuasan terhadap pemerintah. Ruang digital memberi panggung bagi suara-suara yang dulu terpinggirkan. Mereka berani menceritakan pengalaman pribadi, membuka diskusi yang sebelumnya dianggap tabu, dan membangun solidaritas lintas identitas. Aktivisme hari ini tidak lagi sekadar soal siapa yang turun ke jalan, tetapi siapa yang berani bersuara dan memberi ruang bagi yang lain untuk ikut bicara.
Namun, ada sisi lain yang membuat saya kadang heran kenapa di dunia digital, sebuah isu bisa viral begitu cepat, tetapi juga padam secepat itu. Hari ini timeline bisa penuh dengan satu tagar, besok sudah berganti topik baru. Banyak yang sinis: apakah aktivisme digital hanya tren sesaat? Apakah viralitas cukup untuk membawa perubahan? Bagi saya, viralitas memang rapuh, tetapi tidak boleh diremehkan. Viralitas adalah pintu masuk. Dari sekadar trending topic, sebuah gerakan bisa tumbuh menjadi jaringan yang lebih kokoh. Tagar seperti #kaburajadulu dan #peringatandarurat menjadi diskursus yang tidak hanya diperbincangkan di sosial media tapi juga di cafe-cafe atau warung kopi.
Pertanyaannya adalah siapa yang menjadi motornya?. Saya kira anak muda yang masuk kategori Si Paling Eksis dan Si Digital Banget lah yang menggerakkan anak muda kita. Si Paling Eksis, meski jumlahnya hanya 16%, menjadi pendengung utama untuk menaikkan isu, dan Si Digital Banget (39,7%) mengamplifikasinya ke dunia maya sehingga jangkauannya menjadi lebih luas.
Meski begitu, ada tantangan serius yang tidak boleh diabaikan. Temuan survei Alvara Research Center (2024) mengindikasikan 34% anak muda terjebak dalam echo chamber ketika mengonsumsi informasi politik. Mereka hanya mendengar suara yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri. Jika dulu sering terjadi diskusi bahkan perdebatan yang sangat keras di ruang-ruang mahasiswa, kini algoritma media sosial justru menyaring siapa yang boleh kita dengar. Akibatnya, wacana publik seringkali menyempit, polarisasi pun semakin tajam. Ini berbahaya bagi kualitas demokrasi kita.
Sebagian orang menilai aktivisme digital hanya simbolik. Bahwa tagar hanyalah tren, infografis hanyalah konten estetika. Saya memahami pandangan itu. Namun, bagi saya simbol tetaplah penting. Spanduk pun dulu hanya simbol. Tetapi simbol bisa menggerakkan emosi, menyatukan massa, dan memberi arah. Pertanyaan sebenarnya bukan apakah aktivisme digital itu nyata, melainkan bagaimana menjadikannya substantif. Bagaimana memastikan viral bukan tujuan akhir, melainkan jalan menuju perubahan nyata.
Saya melihat masa depan aktivisme anak muda Indonesia akan semakin hibrida. Timeline digital akan tetap jadi ruang konsolidasi, edukasi, dan mobilisasi. Jalanan tetap menjadi ruang aktualisasi. Keduanya bukan pengganti, melainkan saling melengkapi. Anak muda harus lebih dari sekadar jago membuat konten. Mereka perlu kritis membaca informasi, memahami strategi advokasi, dan berani keluar dari jebakan echo chamber. Kolaborasi lintas isu pun penting. Anak muda yang peduli kebebasan berekspresi bisa bertemu dengan yang memperjuangkan keadilan, membela yang tertindas, lingkungan, dll. Ruang digital membuka peluang pertemuan itu.
Dulu demonstran berteriak di jalanan, berharap ada wartawan yang menuliskan tuntutan mereka. Sekarang, anak muda bisa bicara langsung ke jutaan orang lewat ponsel di tangan mereka. Bagi saya, ini bukan soal mana yang lebih “asli” atau lebih “radikal”. Ini soal bagaimana setiap generasi menemukan jalannya sendiri. Kami di era 90-an punya cara kami. Anak muda hari ini punya jalannya di timeline digital. Yang sama hanyalah api semangatnya: keinginan untuk bersuara, melawan ketidakadilan, dan memperjuangkan masa depan yang lebih baik. Dan selama api itu tetap ada—baik di jalanan maupun di timeline—aktivisme anak muda Indonesia tidak akan pernah padam.



Leave a comment