Hari Jum’at lalu saya membaca sebuah publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang bertajuk Statistika Pemuda Indonesia 2024. Dalam laporan itu BPS menjelaskan tentang pergeseran dalam pola hidup pemuda, usia 16 – 30 tahun, dari cara menempuh pendidikan, membangun karier, hingga menentukan pilihan hidup seperti menikah.
Dulu, menikah diusia 20-an adalah hal yang sangat lumrah, bahkan banyak orang tua merasa lega ketika anaknya sudah dipinang dikisaran usia itu. Kini ceritanya berubah. Dalam publikasi tersebut BPS menunjukkan hampir 70 persen pemuda Indonesia (69,75%) belum menikah. Angka ini adalah yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Pada tahun 2015, jumlah pemuda yang belum menikah masih 55,79%, sementara 42,64% sudah menikah. Perlahan tren itu berbalik arah terutama ditahun-tahun paska pandemi Covid-19. Di 2024, hanya 29,10% yang menikah, sementara mayoritas lainnya memilih tetap lajang.

Fenomena ini tentu saja menandakan sebuah pergeseran besar dalam pola hidup generasi muda kita. Namun, BPS bukan satu-satunya yang mencatat perubahan. Survei-survei lain juga menguatkan arah yang sama.
Survei Alvara Research–IDN Times (2019) mencatat sebanyak 66,3% generasi Milenial menganggap usia ideal menikah adalah 21–25 tahun, dan 28,1% memilih 26–30 tahun. Menariknya adalah ketika survei Populix melakukan survei ditahun 2025 dengan pertanyaan yang hampir serupa menemukan bahwa Gen Z dan milenial, 61% memilih usia 25–30 tahun sebagai waktu paling ideal untuk menikah. Hanya 32% yang masih berpendapat usia 20–25 tahun adalah waktu terbaik. Artinya dalam kurun waktu 6 tahun terakhir ada pergeseran usia menikah yang ideal ke arah usia yang lebih tua.
Menurut temuan Populix dalam survei yang sama, alasannya pun sangat rasional: 54% belum menemukan pasangan yang tepat, 53% ingin fokus pada karier, dan 44% merasa kehidupan saat ini sudah cukup nyaman tanpa menikah.
Jika ditarik benang merah, kita melihat generasi muda Indonesia makin realistis. Mereka lebih menimbang kesiapan personal, finansial, hingga karier, ketimbang sekadar memenuhi ekspektasi sosial.
Mengapa Menikah Makin Jarang?
Pertama-tama, kita tidak bisa menutup mata bahwa ekonomi memainkan peran penting. Biaya hidup yang kian tinggi, harga rumah yang melambung, dan pekerjaan yang sering tidak stabil membuat banyak anak muda merasa belum siap berumah tangga. Jika di masa lalu menikah dianggap sebagai langkah awal untuk membangun kehidupan bersama meski dengan modal pas-pasan, kini banyak yang melihat pernikahan justru sebagai beban finansial tambahan.
Kedua, perubahan nilai dan pola pikir generasi muda. Generasi milenial dan Gen Z tumbuh dengan akses pendidikan yang lebih luas, kesempatan berkarier yang lebih beragam, serta paparan globalisasi melalui internet. Akibatnya, orientasi hidup mereka juga berubah. Banyak yang lebih fokus pada pengembangan diri, mengejar pendidikan tinggi, traveling, hingga berwirausaha. Menikah tidak lagi dilihat sebagai “target utama” di usia muda.

Ketiga, faktor ketidakpastian hubungan dan tingginya perceraian. Data perceraian di Indonesia juga meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir. Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat ada 446.359 kasus perceraian pada tahun 2024. Jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Pada 2023, angka perceraian ada 408.347 kasus. Anak muda menyaksikan betapa rapuhnya banyak pernikahan, dan itu membuat mereka semakin berhati-hati. Alih-alih buru-buru menikah, mereka memilih memperpanjang masa pencarian pasangan yang benar-benar cocok.
Keempat, ada pula pengaruh urbanisasi. Data BPS tahun 2020 juga menunjukkan bahwa 56,4% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, dan pada tahun 2045, BPS memperkirakan angka ini akan mencapai 61,7%. Di kota-kota besar, pernikahan makin dianggap sebagai sesuatu yang bisa ditunda. Kehidupan perkotaan menuntut ritme kerja yang cepat, kompetisi yang tinggi, dan gaya hidup yang individualis. Semua itu membuat pernikahan bergeser dari kebutuhan mendesak menjadi opsi jangka panjang.
Terakhir, kita juga tidak boleh melupakan faktor budaya dan teknologi. Laporan Survei APJII 2025 mencatat pengguna internet di Indonesia pada semester pertama tahun 2025 mencapai 229.428.417 jiwa, yang menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Angka ini mewakili penetrasi internet sekitar 80,66% dari total populasi Indonesia. Aplikasi kencan, media sosial, dan digitalisasi hubungan memberi alternatif cara berinteraksi. Relasi kini bisa lebih cair, tanpa harus langsung menuju pernikahan. Ada yang memilih hidup bersama tanpa menikah (cohabitation), meski masih tabu di banyak kalangan, atau ada pula yang menikmati status lajang tanpa beban sosial yang dulu begitu besar.
Implikasi: Dari Bonus Demografi ke Penuaan Penduduk
Fenomena menurunnya angka pernikahan ini tentu punya implikasi luas, baik positif maupun negatif.
Dari sisi positif, penundaan pernikahan seringkali membuat individu punya waktu lebih banyak untuk membangun kemandirian. Mereka bisa menata karier, menabung, hingga memperluas pengalaman hidup. Dalam jangka panjang, ini bisa melahirkan generasi yang lebih matang secara psikologis maupun finansial ketika akhirnya menikah.
Namun, ada pula sisi gelapnya. Implikasi demografi jadi perhatian besar. Indonesia saat ini sedang menikmati bonus demografi, dengan jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar. Tapi jika banyak dari mereka menunda pernikahan, otomatis angka kelahiran akan menurun. Bila tren ini berlangsung lama, kita bisa menghadapi penuaan populasi lebih cepat dari yang diperkirakan, mirip dengan apa yang dialami Jepang atau Korea Selatan.
Dari sisi sosial, semakin jarangnya orang menikah bisa memperlebar jarak antar generasi. Orang tua yang berharap anaknya segera berkeluarga mungkin merasa kecewa atau khawatir. Tekanan sosial ini sering menimbulkan konflik di keluarga, apalagi di masyarakat yang masih menjunjung tinggi pernikahan sebagai ukuran kesuksesan hidup.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Fenomena ini bukan sesuatu yang bisa diatasi dengan sekadar imbauan moral atau seruan menikah bila sudah masuk usia menikah. Kita perlu pendekatan yang lebih realistis dan menyentuh akar persoalan.
Pertama, pemerintah dan masyarakat perlu menciptakan ekosistem yang ramah keluarga. Misalnya, dengan menyediakan akses perumahan terjangkau untuk pasangan muda, memperluas subsidi pendidikan anak, hingga memberi insentif pajak bagi keluarga baru. Negara-negara seperti Singapura dan Korea Selatan sudah mencoba langkah-langkah ini, meski tantangannya tetap besar.
Kedua, perlu ada edukasi pernikahan yang relevan dengan zaman. Banyak anak muda menunda menikah karena merasa tidak siap secara mental. Program edukasi yang membahas manajemen konflik, komunikasi, dan kesiapan finansial bisa membantu mengurangi rasa takut akan pernikahan.
Ketiga, fleksibilitas di dunia kerja juga penting. Banyak pasangan muda menunda menikah karena khawatir tidak bisa menyeimbangkan karier dan keluarga. Jika perusahaan memberi ruang kerja yang lebih ramah keluarga—misalnya cuti orang tua yang memadai, sistem kerja fleksibel, atau fasilitas penitipan anak—maka menikah dan berkeluarga bisa terasa lebih realistis.
Akhirnya fenomena menurunnya angka pernikahan di Indonesia tidak bisa dibaca hanya sebagai “kemunduran moral” atau “hilangnya nilai budaya”. Lebih dari itu, ini adalah cerminan perubahan zaman, di mana generasi muda punya aspirasi, tantangan, dan cara pandang berbeda.




Leave a comment