Tak ada yang bisa menyangkal, pesantren adalah salah satu wajah paling khas dari Indonesia. Lembaga pendidikan yang satu ini telah hidup selama ratusan tahun di tengah masyarakat, menyatu dengan denyut nadi kehidupan pedesaan, menjadi pusat ilmu, pusat moral, dan kadang-kadang juga pusat solusi di tengah peliknya urusan hidup sehari-hari. Pesantren, dalam sejarahnya, tak hanya melahirkan tokoh-tokoh agama, tapi juga para pejuang, pemimpin, bahkan penggerak perubahan sosial yang lahir dari pergaulan sederhana di balik dinding-dinding asrama.
Dulu, kehidupan pesantren begitu sederhana. Para santri mengaji dengan lampu minyak, beras makan pagi hasil sedekah warga, dan lauk pauk seadanya yang kadang diambil dari kebun warga sekitar Pesantren. Segala keterbatasan dijalani dengan penuh keikhlasan. Pesantren menjadi rumah bagi mereka yang ingin menuntut ilmu agama, membangun karakter, sekaligus menumbuhkan rasa solidaritas yang begitu kuat. Bahkan, dalam kesederhanaan itu, seringkali lahir inisaiatif untuk usaha-usaha produktif, santri diajak bekerja di sawah, beternak ayam, menanam singkong, atau ikut membantu usaha kecil milik pesantren. Dari sinilah, kemungkinan jiwa kewirausahaan mulai tumbuh secara organik.
Tapi zaman berubah. Dunia pesantren perlahan mengalami transformasi, meski tetap menjaga akarnya yang tradisional. Kini, tidak sedikit pesantren yang mencoba berbenah, membangun ruang kelas yang lebih layak, memperluas asrama, bahkan melirik dunia usaha. Tantangan kehidupan yang makin kompleks, biaya operasional yang terus meningkat, dan kebutuhan santri yang tak lagi sederhana memaksa para kiai dan pengelola pesantren untuk berpikir lebih jauh: bagaimana caranya agar pesantren tetap bertahan tanpa selalu menunggu uluran tangan para dermawan.
Menurut data terbaru, lebih dari 42.000 pesantren di seluruh negeri menampung sekitar 4 juta santri. Mereka tersebar diseluruh penjuru nusantara, mulai dari kampung hingga perkotaan. Dari pesantren salaf yang memegang teguh nilai-nilai tradisional hingga pesanntren yang sudah mengadopsi pola pembelajaran modern.
Disisi yang lain pesantren juga menghadapi tantangan perubahan perilaku masyarakat Indonesia, salah satu yang mencolok adalah perilaku digital yang semakin kuat di generasi muda Indonesia. Survei Alvara (2024) mencatat bahwa 97,7 persen generasi Z di Indonesia sudah tersambung dengan internet. Pun juga dengan mulai tumbuhnya kesadaran ditengah masyarakat yang ingin mendapatkan fasilitas pembelajaran yang lebih layak di Pesantren.
Menghadapi kenyataan itu, banyak pesantren mulai berbenah. Pesantren Sidogiri di Pasuruan kini mengelola koperasi dan lembaga keuangan mikro, menghidupi banyak guru, memperbaiki fasilitas, dan mengundang sinergi dengan masyarakat lokal. Di Bandung, Pesantren Alittifaq Ciwidey menyiapkan kebun sayur organik, melibatkan santri sejak menanam hingga menjual produk ke supermarket. Dan banyak lagi pesentren-pesantren lain melakukan hal yang sama tergantung pada potensi ekonomi disekitar pesantren. Kemandirian seperti ini bukan hanya soal uang, melainkan cara mendidik mental dan karakter santri—melalui praktik, bukan hanya teori.
Dalam lima tahun terakhir pemerintah banyak memiliki progam ekonomi yang ditujukan ke pesantren, Bank Indonesia dengan Hebitren-nya, Kementerian Agama dengan program inkubasi bisnisnya. Program-program ini menyasar ribuan pesantren di penjuru tanah air.
Program-program tersebut bukan hanya sekadar memberikan modal, tetapi juga melatih para pengelola—biasanya santri atau staf pesantren—dalam menyusun business plan, manajemen keuangan, operasional, SDM, serta pemasaran dan digitalisasi. Model belajar “blended”, dengan pembelajaran daring hybrid dan tatap muka, menjadi modal penting agar mereka mampu berjalan di lapangan. Ketika unit usaha dikelola dengan baik, secara langsung hal itu memperkuat pemberdayaan ekonomi pesantren secara keseluruhan.
Bahkan, studi di beberapa tempat menemukan bahwa unit-unit usaha tersebut turut memicu motivasi wirausaha santri dan ikut melibatkan masyarakat sekitar. Program-program seperti ini, meski berjalan pelan, memberi dampak nyata. Pesantren yang awalnya hanya mimpi, kini memiliki toko kecil, warung, percetakan, laundry, atau dapur makanan olahan. Produk-produk ini menjadi pilar ekonomi harian pesantren dan juga memberi manfaat ke masyarakat sekitar. Satu pesantren saja bisa berkontribusi bagi desa kecil, membuka lapangan kerja, dan menguatkan jaringan lokal.
Yang membuat cerita ini begitu menarik adalah semangatnya, mereka antusias dan aktif dengan usulan-usulan skema bisnis yang menarik – meski belum tentu menguntungkan. Ketika mereka diberi ruang untuk mencoba—diberi modal, bimbingan, dan sedikit kesempatan berinovasi, ternyata mereka bisa. Dari situ, mereka belajar menata laporan keuangan sederhana, membuat akun media sosial toko, bahkan menyediakan layanan pesan antar.
Inilah kekuatan pesantren, mereka menyadari bahwa agama dan ekonomi bisa berdampingan harmonis. Mereka tidak meninggalkan fondasi spiritual, tetapi juga belajar melek teknologi dan pasar. Ketika santri selesai mondok di pesantren, mereka tidak hanya ahli dibidang agama, tapi mereka juga membawa pengalaman nyata dalam bisnis, yang lebih dibutuhkan di dunia kerja atau usaha di masa depan.
Gemuruh perubahan ini tak terjadi di ibukota, tapi di gang-gang pesantren yang sunyi. Di sana, ada cerita anak kampung yang kini bisa membaca neraca usaha, ada pesantren kecil di pelosok yang kini punya bisnis digital printing, dan ada pesantren yang terus meningkatkan keterlibatan santrinya dalam berwirausaha. Mereka selain ingin mencetak ahli agama sekaligus juga ingin melahirkan wirausahawan santri.
Jadi, jangan heran jika kedepan akan lahir banyak wirausahawan yang lahir dari lorong-lorong pesantren. Modalnya bukan sekadar uang, tetapi ketekunan dan kemauan untuk terus belajar. Dan dari ketekunan itulah, yang tidak gaduh, akan mampu menggerakkan sendi-sendi perekonomian komunitas berbasis nilai-nilai.
Ketika pesantren sudah kuat secara finansial, mereka tidak lagi menjadi lembaga yang bergantung pada proposal, mereka menjadi mesin sosial ekonomi yang tersebar, menghidupkan kampung, memberi ruang ekspresi santri, dan membangun ekosistem ekonomi yang bernilai—pelan, dan terus bertumbuh.



Leave a comment