PSI dan Gajah: Antara Citra dan Substansi

“People don’t buy what you do, they buy why you do it.”
Simon Sinek, Penulis Buku Start with Why (2009) and The Infinite Game (2019)

Ketika sebuah partai politik mengganti logo, publik mungkin menganggapnya hal biasa, sekadar penyegaran visual. Namun bagi para pegiat branding dan pemasaran, perubahan semacam itu bisa menjadi pertaruhan besar, meninggalkan identitas dan citra lama, sementara keberhasilan identitas dan positioning baru masih tanda tanya. Inilah yang sedang dialami Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Bisa jadi alasan pergantian logo ini karena PSI yang notabene dikenal sebagai partai anak muda ternyata belum mampu mengantarkan kader-kadernya menjadi anggota DPR dan perolehan suara legislatif PSI cenderung stagnan. Hasil Pemilu 2024 yang dirilis KPU menunjukkan perolehan suara sebesar, 2,81 % dari total suara nasional (sekitar 4,26 juta suara). Pada Pemilu 2019 PSI memperoleh suara 1,89%. Meski demikian dilevel daerah PSI berhasil meraih 180 kursi di DPRD provinsi dan kabupaten/kota pada 2024, dua kali lipat dari 2019

Di Kongres Nasional yang digelar Juli 2025 di Solo, PSI memperkenalkan logo baru yang oleh banyak orang disebut menyerupai gajah. Di balik perbincangan pro kontra di sosial media, langkah ini mencerminkan sesuatu yang lebih dalam, keinginan untuk rebranding dan repositioning, sebuah upaya untuk membentuk persepsi publik yang baru terhadap identitas dan nilai-nilai mereka.

PSI sudah mencanangkan ide besar tersebut dengan menyebut transformasi ini sebagai “Partai Super Tbk” untuk mencerminkan kepemilikan bersama para kadernya, bukan oleh elit atau kelompok tertentu.

Namun di titik inilah pertanyaan besar muncul: apakah sekadar mengganti logo sudah cukup untuk mengubah persepsi?

Apa Itu Rebranding?
Rebranding bukanlah sekadar mengganti logo, warna, atau slogan. Rebranding adalah proses strategis untuk membentuk ulang brand image—citra yang ada di benak publik tentang sebuah merek, organisasi, atau tokoh. Dalam teori branding, seperti yang dikemukakan oleh David Aaker dan Kevin Lane Keller, brand adalah kumpulan dari janji, pengalaman, persepsi, dan asosiasi yang dibangun secara konsisten.

Brand image mencerminkan bagaimana orang merasa dan berpikir tentang brand itu, sedangkan brand identity adalah bagaimana organisasi itu ingin dilihat. Tantangan muncul ketika keduanya tidak sejalan. Inilah alasan utama banyak institusi melakukan rebranding, untuk memperbaiki citra atau menyelaraskan kembali persepsi publik dengan identitas baru yang ingin mereka bangun.

Dalam konteks PSI, logo baru bisa dibaca sebagai upaya repositioning. Jika sebelumnya PSI melekat sebagai partai anak muda, egaliter, dan kritis, kini mereka ingin menampilkan karakter yang lebih kuat, stabil, dan mungkin ingin menjangkau ceruk pemilih yang lebih luas.

Agar rebranding berhasil, simbol/logo baru harus diikuti oleh perubahan nyata—baik dalam nilai-nilai, budaya, perilaku, dan terefleksikan dalam program kerja. Dunia bisnis memberikan banyak pelajaran tentang ini.

Ambil contoh Telkomsel, perusahaan telekomunikasi yang semula identik dengan perusahaan BUMN. Pada 2021, mereka mengganti logonya menjadi lebih modern dan minimalis, dengan slogan baru: “Buka Semua Peluang.” Tapi yang membuat rebranding ini berhasil bukan semata-mata logonya, melainkan keberanian Telkomsel untuk bertransformasi: mereka meluncurkan layanan digital seperti MAXstream, By.U, hingga menjajaki kolaborasi dengan startup teknologi. Branding baru menjadi pintu masuk perubahan strategis yang konkret, bukan kosmetik.

Hal serupa terjadi pada Bank Mandiri. Dengan mempertahankan logo yang relatif sama, Mandiri ini mengubah citranya dari bank konvensional menjadi salah satu pemain utama digital banking melalui platform Livin’ by Mandiri. Tanpa banyak gembar-gembor visual, Bank Mandiri berhasil membangun brand image baru sebagai bank modern, inklusif, dan adaptif. Mereka memahami satu prinsip penting: citra dibentuk dari pengalaman, bukan sekadar estetika.

Lalu, Bagaimana dengan PSI?

PSI saat ini seperti berada di persimpangan. Di satu sisi, mereka memiliki modal penting: dikenal luas oleh generasi muda, dan memiliki visibilitas tinggi di media sosial, dan relatif belum pernah terlibat skandal besar secara langsung. Di sisi lain, kegagalan di pemilu membuat publik mempertanyakan arah dan konsistensi mereka.

Mengganti logo ke simbol gajah bisa dimaknai sebagai upaya menunjukkan keteguhan, daya tahan, dan kedewasaan. Namun ini baru permukaan. Tanpa narasi dan aksi yang mendukung, publik akan kesulitan memahami makna di balik simbol tersebut.

Dalam teori brand–image alignment, organisasi perlu memastikan bahwa apa yang mereka tampilkan (logo, warna, slogan) sesuai dengan apa yang mereka lakukan (kebijakan, interaksi, dampak sosial). Jika tidak, yang terbentuk justru disonansi merek: gap antara klaim dan kenyataan. Di titik ini, rebranding bisa menjadi bumerang.

Logo adalah Pintu Masuk, Bukan Tujuan
Publik hari ini sangat peka terhadap simbol. Dalam era media sosial, sebuah logo bisa viral dalam hitungan menit. Tapi daya tahan sebuah brand ditentukan bukan oleh viralitas, melainkan oleh konsistensi. Seberapa sering sebuah partai hadir di tengah masyarakat? Seberapa transparan mereka dalam proses politik? Seberapa banyak kadernya yang benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk sekedar tampil didepan kamera?

PSI punya kesempatan untuk menjadikan gajah bukan sekadar maskot, tetapi metafora kerja: besar tapi tidak arogan, kuat tapi tidak menindas, cerdas dan mampu mengingat janji. Tapi semua itu hanya mungkin jika mereka menyertai perubahan visual ini dengan kebijakan dan program kerja kongkrit yang bisa dirasakan masyarakat.

Menuju Brand Politik yang Otentik
Banyak partai politik ingin tampil muda, dekat dengan rakyat, atau nasionalis. Tapi hanya sedikit yang berhasil membangun brand otentik karena mereka tidak menghayati setiap nilai-nilai dan tidak menerapkan dalam keseharian organisasi. Branding yang otentik lahir dari keselarasan antara simbol, struktur, dan budaya politik internal.

Jika PSI ingin menjadikan gajah sebagai simbol masa depan, maka pekerjaan mereka baru saja dimulai. Logo yang baru hanya akan memiliki makna jika dalam 1–2 tahun ke depan, publik bisa merasakan bahwa PSI memang telah berubah—lebih solid, lebih matang, dan tetap relevan. Bila tidak, maka logo itu hanya akan jadi cerita pendek tentang partai yang terlalu cepat berganti kulit sebelum membentuk karakter.

PSI telah memulai perjalanan baru melalui rebranding. Tapi seperti yang diajarkan oleh proses rebranding Telkomsel, dan Bank Mandiri, keberhasilan rebranding tidak diukur dari desain atau popularitas semata, melainkan dari kemampuan menyelaraskan identitas, aksi, dan persepsi publik.

Brand bukan sekadar soal tampil beda, tapi soal tampil bermakna. Bila PSI mampu mewujudkan makna itu dalam kerja politik yang nyata, maka bukan tidak mungkin gajah yang hari ini masih diragukan banyak orang, akan menjadi simbol kekuatan baru dalam lanskap politik Indonesia.

Leave a comment

Selamat datang bagi yang suka dengan data dan analisis seputar dunia pemasaran, sosial politik, dan digital

Let’s connect