Data-Driven Policy: Menjawab Arah Pembangunan

Di tengah transformasi digital yang terus berlangsung, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan data sebagai fondasi utama dalam menyusun kebijakan publik yang lebih adil, efisien, dan berdampak nyata. Kita hidup di era di mana hampir setiap aktivitas bisa tercatat secara digital. Artinya, potensi untuk membuat keputusan berbasis bukti tidak pernah sebesar sekarang.

Sektor swasta sudah menunjukkan contoh sukses bagaimana data menjadi dasar dari segala strategi. Mulai dari peluncuran produk, pengelolaan merek, hingga perluasan pasar—semuanya diarahkan oleh data. Di perusahaan, data bukan sekadar pelengkap, data adalah harga mati. Pendekatan ini bisa kita adaptasi di ranah kebijakan publik: membangun tidak hanya berdasarkan intuisi atau copy-paste program-program tahun-tahun sebelumnya, tapi juga berdasarkan pemahaman yang tajam dari realitas di lapangan.

Sejak 2020, Indonesia telah meluncurkan inisiatif Satu Data Indonesia (SDI) untuk menyatukan dan menstandarkan tata kelola data nasional. Kebijakan dipunggawai Bappenas dan BPS ini menjadi langkah strategis menuju perencanaan lintas sektor yang lebih terintegrasi dan akurat. SDI menjadi jembatan penting agar data yang tersebar bisa diakses, dipahami, dan digunakan secara bersama dan menjadi bahan panduan kebijakan negara lintas sektoral.

Namun, tantangannya bukan pada ketersediaan data, melainkan pada pemanfaatannya. Banyak kebijakan strategis belum sepenuhnya didasarkan pada pemahaman menyeluruh terhadap data yang sudah tersedia. Contohnya bisa dilihat dalam kebijakan digitalisasi pendidikan saat pandemi lalu. Meski bantuan kuota dan pelatihan guru telah digulirkan, distribusinya sering kali belum sepenuhnya mempertimbangkan ketimpangan akses perangkat dan infrastruktur internet di berbagai wilayah di Indonesia. Padahal, data dari Susenas 2022 menunjukkan bahwa hanya sekitar 43% rumah tangga di pedesaan memiliki akses internet tetap, artinya tidak semua warga negara bisa menikmati dan mengoptimalkan bantuan yang diberikan pemerintah.

Kegagalan kebijakan masa lalu harus menjadi pelajaran dan membuka peluang untuk memperbaikinya. Prinsip dasar perencanaan yang baik adalah: you cannot fix what you don’t measure. Ketika kita mulai menggunakan data untuk memahami masalah secara lebih akurat, maka solusi yang ditawarkan pun akan semakin relevan dan efektif.

Kabar baiknya, kita sudah memiliki banyak modal. Badan Pusat Statistik (BPS) secara rutin menghasilkan beragam survei penting baik yang terkait data-data primer mapun juga indikator-indikator strategis lainnya. Di luar itu, data dari operator seluler, media sosial, hingga layanan publik digital juga membuka pintu baru untuk analisis yang lebih dinamis. Dengan kolaborasi lintas sektor dan semangat keterbukaan, data-data ini bisa menjadi bahan bakar utama untuk inovasi kebijakan.

Tentu, masih ada pekerjaan rumah dan ini latent. Beberapa instansi masih menyimpan data dalam format yang tidak kompatibel, belum diperbarui secara berkala, atau belum terbuka untuk diakses publik. Tapi melalui SDI dan semangat kolaboratif, hambatan-hambatan ini seharusnya semakin bisa diatasi. Transparansi data bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal budaya organisasi dan keberanian untuk berbagi.

Seperti kata Dr. Cathy O’Neil, “algorithms are opinions embedded in code.” Demikian juga data—ia bukan sesuatu yang netral sepenuhnya, tapi mencerminkan keputusan, perspektif, bahkan prioritas kita. Karena itu, pendekatan etis dan terbuka dalam penggunaan data sangat penting agar ia benar-benar dapat menyuarakan kebutuhan mereka yang paling terdampak dan sering kali tak terdengar.

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat untuk menjadi “pemerintah berbasis data”. Dalam dokumen GovTech Indonesia 2025, integrasi dan interoperabilitas data menjadi pilar utama. Pemerintah bahkan menettapkan GovTech ini sebagai langkah staregis dalam tranfromasi digital Indonesia. Ini menunjukkan keseriusan untuk mewujudkan layanan publik yang lebih presisi dan responsif.

Namun, digitalisasi bukan sekadar soal membangun sistem atau dashboard. Yang lebih penting adalah membangun budaya kerja yang menjadikan data sebagai acuan utama dalam pengambilan keputusan. Data bukan sekadar pelengkap presentasi, tapi peta yang menunjukkan arah terbaik untuk melangkah.

Agar budaya ini tumbuh kuat, menurut saya ada tiga langkah penting yang perlu terus diperkuat. Pertama, Mendorong keterbukaan data publik. Data yang dibiayai oleh anggaran negara sudah seharusnya dapat diakses masyarakat luas, dalam format yang terbuka dan mudah digunakan kembali. Kedua, Meningkatkan kapasitas analitik di birokrasi. Tidak cukup hanya dengan pelatihan teknis. Kita perlu mendorong pola pikir berbasis data, serta memperbanyak SDM yang kompeten di bidang statistika dan data science di dibanyak lembaga negara. Ketiga, Mengajak kolaborasi lintas sektor. Masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta memiliki peran penting dalam mengolah, mengkritisi, dan memanfaatkan data. Ketika data dijadikan alat dialog bersama, maka kebijakan pun bisa lebih inklusif dan tepat sasaran.

Sir Tim Berners-Lee pernah menyatakan bahwa “data is a precious thing and will last longer than the systems themselves.” Artinya, data adalah warisan pembangunan yang melampaui rezim dan generasi. Menggunakannya secara bijak adalah bentuk tanggung jawab kita untuk masa depan yang lebih baik.

Kini saatnya kita menjadikan data bukan sebagai jargon, melainkan sebagai panduan dalam menyusun kebijakan yang berpihak pada rakyat. Pemerintah telah memiliki semua prasyarat: lembaga statistik yang andal, infrastruktur digital yang berkembang, dan komitmen politik yang tinggi. Yang kita perlukan sekarang adalah kemauan kolektif untuk bertanya, mendengar, dan bertindak berdasarkan data.

Dengan begitu, kita tidak hanya membangun dengan semangat, tapi juga dengan arah yang jelas. Dan pembangunan yang memiliki arah—berdasarkan data—adalah pembangunan yang berkelanjutan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Leave a comment

Selamat datang bagi yang suka dengan data dan analisis seputar dunia pemasaran, sosial politik, dan digital

Let’s connect