Belakangan ini, terutama paska pandemi Covid-19, saya semakin sering melihat orang berlari pagi atau bersepeda. Tidak hanya di taman kota, tapi juga di pinggiran jalan. Car Free Day dimanapun selalu ramai. Mampirlah ke Kampus UI Depok hari Sabtu-Minggu, penuh orang olahraga. Sepeda lipat dan juga roadbike lalu lalang. Orang-orang duduk di rumput untuk senam atau pemanasan yoga. Dan yang paling menarik, semuanya tampak rapi, wangi, siap foto, dan… memakai perlengkapan olahraga yang tidak murah.
Dulu, olahraga adalah kegiatan sederhana. Celana pendek dan kaus yang sudah usang pun cukup. Sekarang? Sepatu harus khusus lari. Legging harus menyerap keringat. Jam tangan bisa menghitung detak jantung dan kalori. Tumbler harus stainless, dan bisa disandingkan dengan botol sport influencer di Instagram. Semua ini membuat saya sadar, bahwa olahraga bukan lagi sekadar olah tubuh. Ia telah menjelma menjadi pasar. Bahkan lebih jauh: menjadi kekuatan ekonomi.
Angka-angka ternyata membenarkan itu. Menurut laporan resmi Kementerian Pemuda dan Olahraga, nilai ekonomi olahraga Indonesia pada tahun 2024 mencapai lebih dari Rp 39 triliun—naik hampir Rp 2 triliun dari tahun sebelumnya. Ini belum termasuk efek turunan dari sektor lain seperti pariwisata, UMKM, atau pelatihan online. Jika tren ini bertahan, nilai industri ini diperkirakan akan menembus Rp 96 triliun dalam waktu kurang dari lima tahun.
Yang mendorong pertumbuhan ini adalah perubahan perilaku masyarakat. Menurut survei Populix, 9 dari 10 orang Indonesia kini mengaku rutin berolahraga. Sebagian besar memilih olahraga ringan seperti jogging, bersepeda, yoga, atau senam. Bahkan menurut GoodStats, kelompok usia muda (18–30 tahun) memiliki semangat tinggi untuk rutin berolahraga seminggu sekali atau lebih.
Hasil survei Alvara Research Center juga menunjukkan trend yang sama, Gen Z dan Milennial menjadikan olahraga sebagai salah satu obrolan favoritnya. Dari survei yang sama menunjukkan olahraga favorit mereka adalah sepakbola, bulu tangkis, lari, dan sepeda. Bahkan mereka juga menjadikan event olahraga sebagai event yang paling sering ditonton selain event musik.
Seorang teman “aktivis” lari bercerita ke saya kalo sekarang ini mencari jadwal untuk bikin agenda lari semacam 5K, 10K, atau marathon di Jakarta sudah susah. Harus nunggu 1 tahun baru bisa dapat jadwal. Bahkan sekarang “lomba” lari pun tidak lagi di kota, di gunung pun sekarang banyak event trail run atau ultra maraton, dan ramai, pesertanya bisa ribuan. Azrul Ananda bikin event sepeda tahunan Bromo KOM yang peserta datang dari penjuru Indonesia tumplek blek di Bromo.
Olahraga sekarang menjadi bagian dari narasi gaya hidup. Ia bukan hanya melulu soal kesehatan atau juga soal bagaimana menurunkan berat badan, menjaga jantung tetap sehat. Ia adalah cara membentuk citra diri: orang yang sehat, produktif, dan disiplin. Dan dalam dunia digital, citra adalah segalanya.
Dampaknya bisa terlihat di mana-mana. E-commerce berlomba-lomba menjual perlengkapan olahraga, demikian juga mall-mall penuh dengan gerai pernak-pernik peralatan olahraga. Produk seperti sepatu lari, pakaian quick dry, smartwatch, hingga matras yoga terjual dengan cepat. Merek lokal seperti Specs dan Ortuseight pun naik daun. Menurut survei Jakpat tahun 2024 merek lokal bahkan kini lebih disukai oleh generasi milenial dan Gen Z dibanding merek luar negeri.
Brand tidak lagi sekadar menjual functional benefit dari produk. Mereka menjual emotional benefit seperti semangat komunitas, citra “aktif dan keren”, serta rasa memiliki terhadap gaya hidup sehat. Tidak heran bila apparel olahraga kini tampil modis, seolah bisa langsung dipakai ke kafe setelah sesi lari pagi.
Yang juga menarik, bisnis olahraga ini tidak berhenti di produk fisik. Ia merambah ke aplikasi digital, kelas kebugaran daring, pelatih personal yang bekerja lewat Zoom, bahkan komunitas kecil yang membuka sesi latihan mingguan di taman. Semua bisa menjadi peluang usaha. Semua bisa menjadi sumber penghasilan.
Saya kenal beberapa teman yang kini mendapat penghasilan tambahan dari kelas olahraga kecil-kecilan. Mereka bukan atlet. Hanya orang biasa yang gemar olahraga dan pintar memanfatkan momentum. Meraka ada yang bikin EO untuk event-event olahraga kecil-kecilan, ada juga yang berjualan perlengkapan olahraga via online, ada juga yang buka sesi pagi olahraga di taman, promosi lewat WhatsApp group dan Instagram Story. Dalam sebulan, mereka bisa dapat lebih banyak dari gaji kantoran. Inilah wujud baru ekonomi mikro berbasis gaya hidup.
Sementara itu, industri makanan dan minuman juga ikut panen. Produk seperti susu protein, minuman elektrolit, camilan rendah kalori, vitamin harian, dan makanan sehat kini punya pasar yang jelas. Bahkan restoran cepat saji pun ikut beradaptasi, menawarkan menu yang lebih “ramah kalori” demi menarik konsumen yang sedang bertransformasi menjadi hidup sehat.
Yang dulu hanya ingin kenyang, kini ingin kenyang sambil tetap fit.
Namun tentu, tak semua berjalan tanpa tantangan. Akses terhadap ruang publik yang nyaman untuk olahraga masih timpang. Kota besar sudah mulai menyediakan taman dan jalur sepeda, tapi banyak wilayah pinggiran yang belum tersentuh. Jika olahraga ingin menjadi kebiasaan nasional, maka infrastrukturnya juga harus merata.
Di sisi lain, booming industri ini juga rawan ditunggangi oleh praktik komersial yang tidak sehat. Produk suplemen yang tidak diawasi, klaim kesehatan yang berlebihan, atau program pelatihan yang asal-asalan bisa menjadi jebakan. Kita perlu regulasi yang berpihak pada konsumen, tapi juga tetap memberi ruang pada pertumbuhan sektor ini.
Hal yang tak kalah penting adalah menjaga inklusivitas. Jangan sampai olahraga jadi barang mewah. Karena sejatinya, tubuh perlu bergerak tapi tidak melulu harus mahal. Kita hanya perlu ruang, semangat, dan ekosistem yang mendukung. Apapun jenis olahraganya, semangat utamanya tetap harus inklusif: olahraga untuk semua.
Saya percaya, olahraga akan terus menjadi peluang besar dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Bukan karena tren, tapi karena kesadaran kolektif masyarakat bahwa tubuh adalah aset. Dan siapa pun yang bisa membaca tren ini lebih awal—baik sebagai produsen, pelatih, komunitas, atau bahkan inovator aplikasi—akan ikut tumbuh dalam ekonomi keringat ini.
Setiap orang punya pilihan atas olahraga yang disukai, terus terang saya sendiri tidak sanggup berlari 10 KM, saya hanya bisa bersepeda rata-rata 50 KM. Apapun jenis olahraga yang kalian lakukan, nikmati, kita bukan atlit yang harus menjadi juara. Kita adalah bagian dari ekosistem besar yang sedang bergerak. Sebuah ekosistem sehat, kuat, dan akan terus bertumbuh.



Leave a comment