Ketika Gen Z Terpikat Gaya Hidup 90-an

Di tengah gemerlap dunia digital dan derasnya arus informasi, generasi muda masa kini, Gen Z, mereka yang berusia 18 – 27 tahun, justru menemukan daya tarik pada masa lalu. Tepatnya, era 1990-an. Meskipun sebagian besar dari mereka belum lahir atau masih balita saat era itu berlangsung, gaya hidup dan estetika 90-an kini menjelma menjadi tren baru yang menjamur, dari media sosial sampai pusat perbelanjaan.

Di TikTok dan Instagram, kita bisa melihat ribuan unggahan Gen Z yang memamerkan gaya berpakaian ala 90-an: jaket oversized, crop top, celana longgar, hingga sepatu kets model klasik. Bahkan kaset pita dan kamera analog ikut kembali naik daun. Menurut sebuah laporan dari BBC, penjualan kamera film di Inggris telah meningkat sekitar 20% setiap tahun sejak tahun 2014. Di Jepang, negara yang terkenal dengan teknologi kamera filmnya yang canggih, penjualan kamera film juga mengalami peningkatan yang signifikan.

Fenomena ini bukan sekadar gaya-gayaan. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik tren ini: sebuah kebutuhan emosional akan kenyamanan, kesederhanaan, dan nostalgia, meskipun terhadap masa yang tak pernah mereka alami.

Menurut laporan Global Web Index (GWI), sekitar 37 persen Gen Z secara aktif menunjukkan minat terhadap budaya 90-an. Sementara WGSN, perusahaan periset tren global, mencatat bahwa 40 persen anak muda saat ini memilih berbelanja pakaian second-hand atau preloved demi mendapatkan nuansa vintage yang tak bisa didapat di toko fast fashion. Mereka ingin tampil beda, unik, dan—yang paling penting—autentik.

Survei Alvara Research Center (2022), yang melibatkan 1.529 responden Gen Z di seluruh Indonesia, mengungkap bahwa mereka adalah heavy internet users—rata-rata menghabiskan 4–6 jam per hari online, bahkan sebagian lebih dari 7 jam . Intensitas digital ini, menurut para ahli, memicu stres dan kelelahan mental. Maka, nostalgia menjadi semacam ‘jangkar emosional’ yang menawarkan sensasi analog, yang terasa lebih manusiawi.

Di Indonesia, tren ini juga terasa nyata. Di Surabaya, misalnya, pada bulan Ramadhan kemaren saya diajak anak saya buka bersama di sebuah cafe, namanya The Vinyl Chick Cafe, isinya koleksi vinyl lagu-lagu dari era 70an hingga 90an, lengkap dari artis dalan dam luar negeri. Dan menariknya yang datang di cafe ini mayoritas adalah Gen Z.

Kecintaan Gen Z pada era 90-an juga mencakup musik dan hiburan. Playlist Spotify mereka kini penuh dengan lagu-lagu dari Dewa 19, Padi Reborn, Sheila On 7. Yang dari luar negeri seperti Nirvana, Britney Spears, atau Spice Girls. Bahkan beberapa konser reuni dari band legendaris era 90-an di Indonesia tidak pernah sepi dan disambut meriah oleh anak-anak muda, yang meskipun tak pernah menyaksikan mereka tampil di masa jayanya, tetap merasa dekat secara emosional.

Dari perspektif psikologi, Dr. Susan Whitbourne (University of Massachusetts Amherst) menjelaskan dalam Time Magazine (2021) bahwa nostalgia berfungsi sebagai coping mechanism, “Ketika seseorang merasa cemas tentang masa depan, ia cenderung mencari kenyamanan dari masa lalu yang terasa lebih stabil dan dapat diprediksi.”

Tapi bila dilihat lebih dalam fenomena ini bukanlah sekadar escapism. Nostalgia yang dibangun oleh Gen Z bersifat selektif. Mereka mengadopsi mode, musik, interior, dan media 90-an—namun tetap menyaring nilai modern seperti inklusivitas, keberlanjutan, dan kesadaran sosial.

Salah satu faktor penting kenapa Gen Z tertarik pada gaya hidup 90an adalah karena mereka adalah anak Gen X. Secara tidak sadar mereka melihat, mendengar, dan merasakan apa saja kesenengan dan kebiasaan orang tua mereka. Mereka terbiasa mendengarkan musik yang diputar orang tua mereka saat bersama di mobil, mereka juga melihat koleksi baju-baju yang dipakai orang tua mereka.

Fakta menarik lainnya, tren ini juga didorong oleh semangat keberlanjutan. Banyak Gen Z yang enggan membeli pakaian baru demi mengurangi limbah tekstil. Mereka memilih thrifting atau membeli barang bekas sebagai bentuk gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Bagi mereka, berpakaian ala 90-an bukan cuma soal gaya, tapi juga sikap.

Perusahaan dan merek besar tentu tak tinggal diam. Levi’s, FILA, bahkan McDonald’s berlomba-lomba meluncurkan ulang produk klasik mereka dengan sentuhan retro. Di Indonesia, kategori “vintage” di platform marketplace seperti Tokopedia dan Shopee semakin populer. Barang-barang seperti tas tangan model lama, sepatu sneakers klasik, hingga kaus band jadul jadi incaran banyak anak muda.

Menariknya, semua ini terjadi di era serba digital. Gen Z adalah digital native, namun mereka juga menunjukkan bahwa teknologi tidak mematikan keinginan untuk terhubung dengan masa lalu. Justru lewat platform digital, mereka bisa mengeksplorasi dan menghidupkan kembali era 90-an dengan cara mereka sendiri.

Bagi Gen Z, gaya hidup 90-an bukan sekadar tiruan masa lalu, tapi interpretasi ulang yang sesuai dengan nilai dan identitas masa kini. Di tengah tekanan sosial, perubahan iklim, dan ketidakpastian ekonomi, nostalgia menjadi ruang nyaman untuk bernapas. Dan dalam ruang itu, mereka bisa menjadi diri sendiri, bebas dari standar modern yang kadang terasa membebani.

Dari jaket denim sampai playlist lawas, dari kamera analog sampai wewangian klasik—semua jadi medium bagi Gen Z untuk menyelami masa lalu dan menemukan jati diri. Sebuah tren yang bukan hanya modis, tapi juga sarat makna.

Dalam dunia yang terus bergerak cepat, mungkin kita semua memang butuh sedikit ‘berhenti’, menoleh ke belakang, dan mengambil secuil kenangan dari masa lalu. Gen Z sudah melakukannya. Dan tampaknya, mereka menikmatinya dengan cara mereka sendiri.

2 responses to “Ketika Gen Z Terpikat Gaya Hidup 90-an”

  1. Don dJalie Avatar
    Don dJalie

    Pak Hasan ini termasuk Gen apa ya?🙄

    1. hasanuddinali Avatar

Leave a comment

Selamat datang bagi yang suka dengan data dan analisis seputar dunia pemasaran, sosial politik, dan digital

Let’s connect