Beberapa tahun lalu saya sempat berbincang dengan salah satu pemilik Mal terbesar di Jakarta Selatan, saat itu perusahaannya akan membangun Mal baru yang lokasinya tidak terlalu jauh dari mal yang ada sekarang. Saat itu saya bertanya apa ukuran sebuah Mal dikatakan sukses?. Jawaban beliau sangat menarik. “Mas, saya tidak terlalu peduli Mal saya ramai atau tidak, yang saya lihat adalah berapa banyak orang yang menenteng tas belanjaan di Mal saya.”
Paradigma pengusaha Mal semacam ini saya kira dijaman dulu banyak diadopsi dan diyakini oleh pengusaha Mal-Mal lainnya, dan itu tidak salah karena Mal sejatinya adalah memang tempat belanja. Traffic pengunjung yang banyak bukanlah tujuan akhir, ia hanyalah pintu masuk agar mereka bisa lebih banyak berbelanja di Mal.
Tapi apakah paradigma ini masih berlaku ditengah derasnya perubahan perilaku konsumen di Indonesia terutama karena adanya disrupsi teknologi?
Mari kita lihat beberapa data ini. Sebuah studi Di Yogyakarta, misalnya, menemukan kunjungan mal naik sekitar 20 hingga 30 persen selama Januari hingga Mei 2025 dibanding tahun sebelumnya. Namun, belanja per kapita justru menurun, dari rata-rata satu juta rupiah menjadi sekitar tujuh ratus hingga delapan ratus ribu rupiah per orang. Artinya, orang datang lebih sering, tetapi mengeluarkan uang lebih sedikit. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menurut survei Ipsos pada bulan Maret 2022, 78% konsumen mengetahui livestream shopping, 71% mengaksesnya, dan 56% telah membeli lewat format tersebut. Ini menjadi sinyal meningkatnya ketertarikan terhadap cara belanja digital interaktif.
Fenomena inilah yang kemudian memunculkan istilah ”Rojali” di industri retail yang sekarang ini banyak diperbincangkan di sosial media, dan media online. Rojali adalah singkatan dari “rombongan jarang beli.” Frasa ini merujuk pada fenomena yang semakin sering terlihat di pusat perbelanjaan, pengunjung datang beramai-ramai, tetapi tak banyak dari mereka yang benar-benar belanja. Mal tetap ramai, area makan penuh, antrean bioskop mengular, tapi tenant fesyen atau elektronik sepi transaksi. Banyak yang hanya cuci mata, nongkrong, atau sekadar ngadem dari panas Jakarta.
Fenomena ini bukan sekadar tren sosial. Ia adalah cermin perilaku konsumsi masyarakat kelas menengah yang sedang berubah. Beberapa pihak melihatnya sebagai bentuk krisis daya beli, sementara lainnya menganggap ini sebagai pergeseran fungsi mal dari tempat belanja menjadi ruang publik. Di tengah hiruk-pikuk interpretasi tersebut, satu hal jelas: rojali muncul bukan tanpa sebab, dan ia berbicara banyak soal kondisi ekonomi kita hari ini.
Jika kita perhatikan, kebiasaan masyarakat Indonesia untuk ke mal sudah mengakar sejak era urbanisasi besar-besaran. Mal bukan sekadar tempat belanja, melainkan ruang rekreasi, bersosialisasi, bahkan sekadar “window shopping.” Namun, belakangan ini, fungsi belanja mulai tergerus. Banyak pengunjung yang masuk toko tanpa keluar membawa kantong belanja. Mereka mungkin hanya duduk-duduk, beli minuman ringan, atau swafoto di instalasi visual yang memang didesain itu.
Fenomena ini juga terjadi secara nasional. Indeks Mandiri Spending Index—indikator yang mencerminkan pola konsumsi masyarakat, turun ke angka 236,2 menjelang Lebaran 2025. Ini adalah level terendah sejak pandemi COVID-19 melanda. Bahkan, menurut proyeksi Kamar Dagang dan Industri (Kadin), perputaran uang selama musim Lebaran tahun ini hanya mencapai Rp137,97 triliun. Angka itu turun sekitar dua puluh triliun dibandingkan tahun lalu. Ini merupakan penurunan sekitar dua belas persen.
Apa yang menyebabkan semua ini? Salah satu penyebab utama adalah tekanan biaya hidup yang semakin besar tapi pendapatan stagnan yang berakibat pada daya beli turun. Kelas menengah, meski secara nominal punya daya beli, menjadi lebih berhitung. Mereka menunda belanja besar dan memilih prioritas dalam berbelanja produk-produk kebutuhan dasar.
Salah satu cerminan adanya tekanan ekonomi bisa dilihat dari data Hasil Survei Alvara akhir tahun lalu. Jika dilihat dari sisi tabungan maka terlihat bahwa mayoritas masyarakat mengatakan bahwa dalam 1 tahun terakhir kondisi tabungan sama saja dibandingkan tahun lalu yaitu sebesar 69,5%, yang menyatakan turun sebesar 19,5% dan naik sebesar 11%. Sedangkan berdasarkan generasi, kondisi tabungan untuk Milenial menilai 21,4% turun, lebih tinggi dibandingkan Gen X dan Gen Z. Artinya tidak banyak masyarakat dari berbagai generasi yang mengalami kenaikan tabungan.

Di sisi lain, perilaku kelas menengah atas juga turut berubah. Konsumsi masih ada, tetapi arahnya berpindah. Uang yang dulunya dialokasikan untuk belanja fesyen atau barang mewah, kini dialihkan ke instrumen finansial seperti saham, SBN ritel, deposito, atau emas.
Namun, apakah ini berarti daya beli masyarakat menurun drastis? Tidak selalu. Kementerian Perdagangan bahkan menilai bahwa rojali bukanlah tanda lemahnya daya beli, melainkan transformasi fungsi mal itu sendiri. Di era digital, masyarakat punya lebih banyak pilihan untuk berbelanja, utamanya melalui belanja online. Belanja fisik tidak lagi menjadi satu-satunya kanal konsumsi. Maka, ketika mereka datang ke mal, tujuannya bergeser: mencari pengalaman, menikmati atmosfer, atau sekadar mencari konten.
Meski begitu, dampaknya terhadap sektor ritel tidak bisa diabaikan. Banyak tenant di mal, terutama di luar sektor F&B dan hiburan, mulai mengeluh. Penurunan omset, beban operasional tinggi, hingga stagnasi penjualan membuat mereka harus berpikir ulang. Beberapa bahkan mengurangi jam operasional atau jumlah karyawan. Mal yang dulunya pusat belanja, kini harus berevolusi menjadi pusat hiburan atau komunitas jika ingin bertahan.
Hal ini menciptakan tantangan baru, tak hanya bagi pelaku usaha, tetapi juga bagi pemerintah. Sebab, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar enam puluh persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jika konsumsi lesu, maka laju pertumbuhan ekonomi akan ikut tertahan. Apalagi jika fenomena rojali terus berlanjut, bukan hanya di kota besar, tetapi juga di daerah-daerah.
Perlu strategi adaptif dari berbagai pihak. Bagi pengelola mal, ini saatnya mendesain ulang konsep ruang. Tidak cukup hanya mengandalkan tenant retail, mereka perlu menciptakan pengalaman: pameran seni, kelas komunitas, area bermain anak, dan konsep belanja interaktif. Pengalaman fisik yang tak tergantikan oleh belanja daring akan menjadi daya tarik utama.
Sementara itu, pelaku usaha bisa memperkuat integrasi antara toko fisik dan kanal digital. Strategi omnichannel, seperti menyediakan pemesanan online dengan pengambilan di toko, atau menghadirkan teknologi AR untuk mencoba produk secara virtual, bisa menjadi solusi jangka panjang. Konsumen saat ini menginginkan efisiensi, kenyamanan, dan personalisasi.
Namun, pada akhirnya, masyarakat sendiri memegang kendali. Fenomena rojali bisa dimaknai sebagai bagian dari seleksi alam, konsumen semakin cerdas dan berhati-hati. Mereka bukan tidak mampu beli, tetapi memilih untuk tidak membeli. Prioritas keuangan berubah, dari konsumtif ke reflektif. Ini bukan hal buruk, selama dibarengi dengan literasi keuangan yang baik.
Jika semua pihak bisa membaca sinyal ini dengan bijak, rojali bukanlah pertanda krisis, tetapi titik balik. Kita memasuki fase ekonomi baru, di mana konsumsi tidak lagi semata soal kuantitas, tetapi kualitas. Mal tak lagi sekadar tempat belanja, melainkan ruang hidup kota. Konsumsi bukan lagi sekadar impulsif, tetapi penuh pertimbangan. Dan pertumbuhan ekonomi, tidak lagi bergantung pada belanja berlebihan, tetapi pada ekosistem yang sehat, inklusif, dan adaptif.
Maka, saat Anda melihat sekelompok orang berfoto ria di tengah mal tanpa kantong belanja, jangan buru-buru menyebut mereka pelit atau sekadar numpang Wi-Fi. Mungkin mereka adalah wajah baru konsumen Indonesia: sadar, cerdas, dan kritis. Dan mungkin, rojali adalah langkah kecil menuju ekosistem ekonomi yang lebih sehat.



Leave a comment