Selama bertahun-tahun, narasi pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu menempatkan kelas menengah sebagai lokomotif pembangunan. Mereka diagungkan sebagai pendorong dan penyangga utama ekonomi. Namun, bila kita telaah lebih dalam, apa yang sering disebut sebagai kelas menengah di Indonesia sejatinya adalah kelompok masyarakat yang hidup di ambang batas rentan. Mereka bukan miskin, tapi juga belum mapan. Mereka adalah kelas menengah ke bawah, sebuah kelompok besar yang sering terlupakan dan cenderung diabaikan dalam diskursus pengembangan strategi bisnis dan kebijakan publik.
Menurut klasifikasi Bank Dunia, kelompok ini mencakup individu dengan pengeluaran harian antara US$3 hingga US$5,5 per kapita per hari, atau sekitar Rp1,2 juta hingga Rp4,8 juta per orang per bulan. Sementara data Susenas BPS 2024 menunjukkan bahwa hampir 47,85 juta orang (17,13% dari populasi) tergolong dalam kelas menengah, sebagian besarnya berada pada posisi bawah dalam strata tersebut. Ini adalah angka yang menurun signifikan dari 57 juta orang (2019), menandakan adanya tekanan struktural terhadap daya beli masyarakat dalam beberapa tahun terakhir.
Penurunan ini tentu saja berimplikasi pada banyak hal terutama berkaitan dengan kemampuan daya beli, dalam beberapa kasus mulai muncul fenomena ”ManTab” alias Makan Tabungan, pendapatan yang mereka terima tidak cukup untuk menopang kebutuhan mereka, sehingga yang terjadi tabungan kelas menengah ke bawah semaikin terkuras. Meski demikian harus diakui juga konsumen kelas menengah kebawah merupakan segmen pasar paling aktif di sektor-sektor dasar ekonomi Indonesia.
Dengan jumlah hampir 50 juta orang, kelas menengah ke bawah adalah segmen pasar terbesar di Indonesia. Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB Indonesia pada triwulan I 2024 masih dominan, yakni sebesar 53,68% (BPS 2024), dan sebagian besar didorong oleh kelompok ini.
Segmen ini juga dikenal tahan banting. Pengalaman sejarah, saat krisis ekonomi menerpa Indonesia berkali-kali, seperti krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008, atau saat Covid tahun 2020 – 2022, mereka tetap melakukan konsumsi dasar karena kebutuhan mereka tak bisa ditunda. Saat inflasi naik, mereka beradaptasi, mengurangi volume, mengganti merek, atau mencari produk dengan harga yang lebih murah. Hal ini membuat pasar kelas menengah ke bawah relatif stabil dari sisi permintaan.
Lalu bagaimana karakteristik Konsumen Kelas Menengah Bawah?. Pertama, Rasional dan Sangat Sensitif terhadap Harga, mereka ini menjadikan harga sebagai pertimbangan utama dalam keputusan belanja. Diskon, cicilan, dan cashback memiliki pengaruh signifikan terhadap preferensi pembelian mereka. Mereka sangat membandingkan harga antar platform—baik di toko fisik, warung, maupun e-commerce.
Kedua, Konsumsi Harian dan Penuh Perhitungan, mereka cenderung membeli dalam jumlah kecil namun sering. Itulah mengapa kemasan sachet, paket hemat, dan bundling kecil sangat laris. Hal ini bukan semata karena tidak mampu membeli dalam jumlah besar, tetapi karena strategi manajemen uang harian. Banyak dari mereka bekerja di sektor informal, sebagai pedagang kecil, pengemudi ojol, buruh lepas, atau pekerja harian. Pendapatan mereka fluktuatif, membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan harga, inflasi, dan gejolak ekonomi.
Ketiga, Aspiratif dan Ingin Naik Kelas, konsumen kelas menengah bawah memiliki aspirasi sosial yang tinggi. Mereka tidak hanya membeli barang karena kebutuhan, tetapi juga untuk membangun citra diri, dari memilih merek HP yang dianggap “naik kelas”, hingga mengalokasikan dana untuk pendidikan anak. Sebagian besar konsumen kelas ini telah memiliki akses internet, namun belum seluruhnya nyaman dengan transaksi digital. Mereka menggunakan WhatsApp, Facebook, dan TikTok untuk belanja atau promosi usaha kecil, tetapi lebih memilih sistem cash on delivery (COD) dalam transaksi e-commerce.
Tantangan utama dalam menjangkau kelas menengah ke bawah adalah tentu saja karena keragaman karakteristik mereka. Tingkat literasi, kondisi sosial-budaya, dan akses infrastruktur sangat berbeda antar daerah.
Konsumen kelas menengah ke bawah adalah segmen yang besar, dan sangat atraktif. Mereka bukan sekadar “pasar bawah” dalam piramida sosial, tapi justru menjadi jantung ekonomi di sektor riel Indonesia. Mereka tidak meminta belas kasihan, tapi memilih dengan pilihan yang rasionaldan masuk akal. Dalam situasi sekaran, mereka tidak membutuhkan kemewahan, tapi harga yang jujur dan layanan yang konsisten.
Jadi jika perusahaan atau juga negara ingin tumbuh bersama masyarakatnya, maka memahami dan mengerti logika konsumsi kelas menengah ke bawah bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan.



Leave a comment