Sudah sejak akhir tahun lalu perbincangan tentang situasi Kelas Menengah di Indonesia menghiasi berbagai media. Adalah data Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi pemicunya, Data BPS menunujukkan ada trend penurunan jumlah Kelas Menengah di Indonesia. Proporsi kelas menengah Indonesia tercatat mengalami penurunan sebesar 9,48 juta penduduk (↓16,53%) dari tahun 2019 yang sejumlah 57,33 juta penduduk menjadi 47,85 juta penduduk di tahun 2024.

Grafik 1. Jumlah Kelas Menengah 2019 – 2024 [BPS]

BPS juga menyatakan Jumlah Kelas Menengah dan Menuju Kelas Menengah di Indonesia pada tahun 2024 sebanyak 66,35 persen dari total penduduk Indonesia. Nilai konsumsi pengeluaran dari kedua kelompok tersebut mencakup 81,49 persen dari total konsumsi masyarakat. Dan kita semua tahu mereka adalah salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia karena mereka rela mengeluarkan uang untuk konsumsi berbagai produk dan jasa.

Chatib Basri sebagaimana dikutip oleh Financial Times mengatakan penyebab menurunnya Kelas Menengah di Indonesia adalah karena kegagalan penyerapan tenaga kerja di sektor formal. ”Sejak 2019, sebagian besar lapangan kerja yang tercipta pada dasarnya berada di sektor informal.”, Kata Chatib Basri.

Selain itu fokus pembangunan Indonesia yang terlalu berfokus pada sektor komuditas yang berbasis sumber daya alam menyebabkan perkembangan industri manufaktur terbengkalai dalam  beberapa tahun terakhir, Kelas Menengah adalah sumber utama tenaga kerja untuk industri manufaktur.

Dampak dari menurunnya Kelas Menengah di Indonesia mulai terasa terhadap kondisi perekonomian Indonesia, indikasi ini terlihat dari mulai melemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Bila kita melihat angka Inflasi terlihat sejak akhir tahun 2024 cenderung semakin menurun, bahkan pada bulan Februari 2025 terjadi deflasi, meski menurut BPS deflasi yang terjadi di bulan Februari 2025 ini karena adanya diskon 50% tarif listrik.

Grafik 2. Inflasi Indonesia 2024 – 2025 [BPS]

Data dari sektor riel seperti penjualan motor menjunjukkan stagnasi, menurut data Asosisasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) penjualan sepeda motor bulan Januari-Februari 2024 sebesar 1,151,343 unit, sementara periode bulan Januari-Februari 2025 mengalami sedikit penurunan menjadi 1,141,578. Data penjualan mobil yang dirilis oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) juga menunjukkan tanda-tanda yang serupa. Selama bulan Januari-Februari 2025 penjualan mobil baru mencapai 134.227 unit. Hasil ini turun 4,5 persen dari penjualan bulan Januari-Februari 2024.

Kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja juga tercermin dari pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia. Meski banyak analis pasar modal mengatakan penurunan IHSG lebih dikarenakan situasi ekonomi global yang tidak menentu akibat kebijakan Presiden Trump, namun situasi domestik juga memiliki andil besar terhadap fluktuasi harga saham di Indonesia. Beberapa hari yang lalu IHSG mengalami penurunan hampir 4% akibat kekhawatiran terhadap menurunnya belanja konsumen dan biaya tinggi dari program sosial pemerintah. IHSG mencapai titik terendah dalam empat tahun setelah turun hingga 7,1%, yang menyebabkan penghentian perdagangan sementara. Nilai tukar rupiah juga terdepresiasi sekitar 2% terhadap dolar AS tahun ini.

Sejauh ini belum ada sentimen positif dari berbagai kebijakan ekonomi Pemerintah Prabowo-Gibran, justru beberapa kebijakan Pemerintah terkait ekonomi direspon negatif oleh pasar.

Selain berakibat pada penurunan daya beli, penurunan kelas menengah juga berdampak pada sektor-sektor lain. Data BPS menunjukkan peningkatan jumlah penduduk rentan miskin dari 54,97 juta pada 2019 menjadi 67,69 juta pada 2024, menunjukkan banyak anggota kelas menengah yang turun kelas dan menjadi rentan terhadap kemiskinan. Penurunan daya beli kelas menengah juga berpotensi mengurangi investasi di sektor keuangan, properti, otomotif, pariwisata, dan ritel, yang merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi

Kegundahan Kelas Menengah sebenarnya bisa terlihat dari hasil Survei Alvara Research pada akhir tahun 2024. Terlihat dari Grafik 3 terlihat bahwa Semakin rendah kelas sosial ekonomi kekawatiran terhadap Pendapatan semakin tinggi, Kelas Menengah juga memiliki kegundahan yang cukup tinggi terhadap Prospek Karir/Usaha, sementara Kelas Atas lebih mengkawatirkan terhadap Kesehatan.

Grafik 3 Kekawatiran Terhadap Beberapa Aspek Kehidupan

Dengan melihat berbagai situasi ekonomi mutakhir sebagaimana dijelaskan diatas maka penting untuk melihat lebih dalam tentang perubahan perilaku Kelas Menengah Indonesia dan juga dibandingkan dengan kelas-kelas sosial ekonomi yang lain.

Perilaku Digital

Kelas menengah dianggap memiliki literasi digital yang lebih baik dibanding kelas sosial ekonomi yang lain, hal ini karena mereka lebih terdidik dan cenderung lebih mapan.

Pada kenyataannya penetrasi pengguna internet di Indonesia sudah sangat tinggi di semua kelas sosial ekonomi. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam laporannya menyebutkan penggunan internet tahun 2024 mencapai 221 juta jiwa atau 79,5% dari total penduduk Indonesia. Survei Alvara akhir tahun 2024 menghasilkan penduduk Indonesia berusia 15 tahun keatas yang mengakses internet dalam satu bulan terakhir mencapai 94.4%, dan semakin tinggi kelas sosial ekonomi semakin banyak pula yang mengakses internet.

Grafik 4 Penetrasi Pengguna Internet (usia >15 Tahun)

Menariknya adalah dari sisi konten yang mereka lihat di internet terlihat perbedaan yang cukup kontras diantara kelas sosial ekonomi. Secara umum semakin rendah kelas sosial ekonomi, semakin tinggi yang mengakses konten entertainment/hiburan, sebaliknya semakin tinggi kelas sosial ekonomi, minat mereka terhadap konten-konten edukatif dan inspirasional semakin tinggi.

Grafik 5 Konten Digital Yang Diminati

Perbedaan minat konten antar kelas sosial ekonomi ini penting bagi pemasar dan juga pemangku kepentingan yang lain untuk ”menyesuaikan” konten apa yang akan diproduksi untuk menyasar kelas sosial ekonomi tertentu.

Perilaku Liburan

Salah satu sektor yang paling terdampak akibat jumlah Kelas Menengah yang turun serta dibarengi dengan menurunnya daya beli adalah sektor pariwisata dan entertainment, kenapa?, karena mereka akan menunda pengeluaran untuk kebutuhan sekunder dan lebih memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, papan, dan juga kesehatan dan pendidikan.

Grafik 6 Melakukan Liburan Dalam Satu Tahun Terakhir?

Survei Alvara Research Center akhir tahun 2024 menunjukkan intensitas kelas sosial menengah dan atas dalam melakkan liburan cukup tinggi, sementara untuk kelas menengah bawah dan kelas bawah cukup rendah. Bila kondisi ekonomi tidak membaik, tidak menutup kemungkinan intensitas Kelas Menengah untuk berwisata akan semakin menurun.

Perilaku Belanja

Untuk menganalisa perbedaan perilaku belanja kelas sosial ekonomi, kita akan menggunakan survei Alvara Research Center tentang tipologi belanja konsumen Indonesia yang menghasilkan tiga tipologi, yakni The Frugal Shopper, The Budget-Conscious Shopper, dan The Impulsive Shopper. Penjelasan lebih lengkap tentan tiga tipologi ini bisa dibaca disini artikel Tipologi Belanja Konsumen Indonesia: Perilaku dan Tren

Grafik 7 Tipologi Belanja Konsumen Indonesia

Dari Grafik 7 terlihat bahwa kelas sosial ekonomi menengah atas cenderung memiliki anggaran belanja yang jelas dan mereka disiplin dalam mengikuti anggaran tersebut. Mereka juga lebih memilih menyisihkan uang untuk tabungan dan investasi sebelum melakukan pengeluaran lainnya. Kelas menengah ke bawah Mereka cenderung mengalokasikan dana khusus untuk pengeluaran wajib atau rutin, dan mereka membeli hanya sesuai kebutuhan saja. Sementara untuk Kelas Bawah, selain mereka konsumen yang frugal mereka juga ternyata sering kali melakukan pembelian tanpa perencanaan atau pertimbangan matang. Mereka tidak terlalu memperdulikan anggaran dan tabungan dalam aktivitas belanjanya karena sumber dananya memang terbatas.

Dengan melihat beberapa data diatas maka masalah penurunan kelas menengah harus di sikapi dengan sangat serius oleh semua pemangku kepentingan, apalagi mengingat Indonesia memiliki cita-cita Indonesia Emas 2045. Perlu ada terobosan kebijakan terutama terkait problem struktural ekonomi Indonesia. Dalam hal Investasi misalnya, Indonesia beberapa kali kalah dari Vietnam, Nvidia dan Apple lebih memilih investasi di Vietnam dibanding Indonesia, bahkan beberapa perusahan merelokasi pabriknya di Indonesia ke Vietnam.

Pemerintah seyogyanya tidak membiarkan kondisi ini, Kelas Menengah adalah salah satu ”mesin” pertumbuhan ekonomi, target pertumbuhan ekonomi 8 % tidak mungkin tercapai bila Kelas Menengah tidak tumbuh. Kelas Menengah juga adalah kelompok masyarakat yang berpendidikan, kritis, dan melek informasi. Membiarkan mereka dalam situasi penuh ketidakpastian sama saja dengan memberi mereka amunisi untuk bersikap tidak percaya terhadap semua kebijakan pemerintah.

Sekali lagi kepastian hukum, anti korupsi, dan kemudahan dalam berbisnis adalah kuncinya.

Leave a comment

Selamat datang bagi yang suka dengan data dan analisis seputar dunia pemasaran, sosial politik, dan digital

Let’s connect